Mungkin Jalanku




Sial  mungkin sebuah kata yang tepat buat mengekspresikan keadaanku saat ini . Hari wisuda telah ditentukan oleh pihak sekolah, Bukan rasa senang yang aku dapati, karena sebentar lagi aku mengetahui hasil jerih payahku selama tiga tahun yang di implikasikan dalam Ujian Nasional.  Melainkan rasa takut tiada tara, aku takut tak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi yang aku inginkan dan aku takut dipaksa kuliah di kotaku sendiri, bukannya aku tak mencintai atau tak sayang kotaku sendiri. Aku takut masuk ke perguruan yang berlatar belakang agama. Aku tak tahu bagaimana cara mempelajari ilmu-ilmu agama seperti  Nahwu, Shorof , Qiroatul Qutub dan kolegannya. “Sungguh aku benar-benar takut dan tak sanggup” bisik jeritan hatiku yang paling dalam.

Beberapa hari  belakangan ini aku tak nafsu makan, aku sudah berulang kali melobi kedua orang tuaku agar mau mensekolahkanku  di perguruan yang tidak berlatar belakang agama. Aku sudah menyakinkan kedua orang tuaku dengan berbagai strategi yang ampuh dan  berjuta ekspresi memelas.

Tapi apa daya aku  tak bisa melawan kedikdayaan orang tuaku. “ ma, aku niku mbotn saget pelajaran agama. Luweh apek anakmu ikuw di kuliahno neng sekolahan seng umum. Orak agama. (ma, saya tuch tidak bisa pelajaran agama. Lebih baik anakmu ini di kuliahkan di perguruan tinggi yang umum)  .

Tapi berulangkali aku mendengar jawaban yang sampai aku hafal cara berbicara orang tuaku hingga titik dan komanya.

“ Gelem sekolah yo neng kono moh yo  wes, saiki koe milih sekolah nengkono tah mbegawe neng godang?? (kalau tidak mau sekolah di situ ya sudah, sekarang kamu tinggal pilih, kamu sekolah disitu atau kerja di gudang??).” Aku tau orang tuaku ingin aku belajar sampai setinggi mungkin, tapi entah mengapa orangtuaku menjawab  begitu.

Aku ingin mengadu tapi entah siapa yang pantas mendengarkan cerita rintihan hati ini. Aku ingin merubah takdir yang tak aku inginkan ini. Seperti  sekejap membalikan telapak tangan, tapi aku tak bisa melakukannya.

 “Ya Tuhan apa yang salah dariku?? Aku dari kecil masuk sekolah negeri terus. Mulai dari SD hingga SMA aku selalu sekolah negeri terus, tapi aku kuliah kok tidak perguruan tinggi negeri. Temanku yang aku anggap biasa saja mungkin prestasinya lebih rendah dari aku dapat panggilan dari SNMPTN. Kenapa aku tidak?? Semoga Tuhan mendengarkan bisikan hati hambanya ini” Tutur jeritan  hatiku yang paling dalam dan selalu terngiang dalam benakku sepanjang hari.

***
Hari ini merupakan hari penerimaan hasil kerja kerasku selama 3 tahun, kuputuskan membawa motor sendiri, setelah setengah jam mengendarai sepeda akhirnya aku sampai diparkiran sekolah dengan langkah gontai aku menyusuri lorong-lorong sekolah bukannya aku tak rela meninggalkan sekolah tempat aku mengenyam pendidikan selama tiga tahun ini. Tetapi pikiranku selalu berselancar dalam rasa takut masuk perguruan tinggi yang berlatar belakang agama. Ratusan wisudawan yang memakai baju putih celana hitam dan berdasi hitam bak pegawai negeri berlalu lalang kesana kemari dengan menyebar senyum bak seorang pegawai yang akan menikah dan ratusan  wisudawati yang memakai pakaian kebaya dengan berbagai warna  seakan Imitasi dari seorang Ibu Kartini yang mulai berjalan ke bangku-bangku yang sejak tadi kosong.

Teman-teman sekelas pun mulai berbicara tentang kelanjutan kuliah, sebenarnya aku malas membiacarakan tentang topik ini, aku takut  kalau ditanya dimana kamu mau meneruskan kuliah?? karna dalam benakku sudah tertanam dokrin bahwa kalau kuliah di kota sendiri pastinyta aku tak sanggup melewati semua perkuliahan dan seandainya para dosen terhormat tak sengaja meluluskanku dalam mata kuliahnya sampai aku dapat gelar sarjana kemudian aku setelah kuliah mau kerja apa ?? karna aku lihat salah satu sarjana dari perguruan tersebut, setelah  sarjana ia tak dapat kerjaan dan hanya diam dirumah. Dan akhirnya pertanyaan mengenai kelanjutan sekolah ditujuhkan kepadaku .

“woe Zaw, kamu mau kuliah dimana??”  aku hanya menjawab dengan angkatan bahu tanpa menjawab apapun.

“`Kamu ambil jurusan teknologi informatika aja!!!, kamu kan bisa dalam bidang grafis dan computer” celetuk salah satu temanku. Akupun tak menjawab lagi.

Akhirnya acara wisuda dimulai, aku hanya pura-pura diam dan hanya tersenyum serba kebohongan. Setelah melewati beberapa sambutan tiba-tiba ada suara “Zaw, ma’amu nanges ikuw lho,,,, (Un, mamamu nangis tuch,,,,,,,) bisik temanku yang membangunkanku dari lamunan tentang perguruan tinggi agama yang menjadi momok bagaikan seongok monster yang menyereamkan . Aku paham betul kenapa mamaku menagis karena tadi disalah satu sambutan ada yang mengatakan “kalau anak didik panjenegan (Anda) ingin kuliah, kuliahkanlan karna Allah maha Kuasa”. Dalam benakku yang jahat bagaikan setan yang sedang mengompor-ngompori pikiranku “ Zaw, nanti setelah pulang dari wisuda waktu yang tepat buat kamu menyakinkan dan memojokkan  orang tuamu agar mau mensekolahkanmu di kampus yang tak berbesik agama ” bisik pikiranku yang berakal busuk nan jahat. “ jangan mau, kamu tidak kasihan sama orang tuamu. Apa kamu menambahi beban pikiran orang tuamu??. Apa kamu mau menyakitinya??? Apakah kamu tidak memikirkan adekmu??, juga butuh pendidikan” bisik pikiranku  yang bagaikan sebuah malaikat yang mengusir para pikiran durjanam. Entah mengapa aku sedikit melunak atas tetesan air mata yang menggenangi pipi beliau. Entah ini emang jalan yang harus aku tempuh??? Aku juga tak tau mau menjawab apa  yang beliau tanyakan kepadaku. Tuhan seakan memberitahu cara untuk bersyukur atau entah bagagimana aku juga tak tahu. Pikiranku terbawa kedalam semua pertanyaan yang tak dapat aku jawab. Acara wisuda pun sudah diujung acara, aku sudah membawa sebuah kertas yang berisikan pengumuman hasil ujian.

Aku lulus dengan nilai yang memuaskan. Sekali lagi bukan rasa senang yang aku dapatkan melainkan sebuah pemikiran inilah awal dari penderitaanku, aku harus kuliah di perguruan tinggi agama, harus belajar nahwu, sorof dan koleganya. Wisuda pun selesai, teman-teman mulai berfoto ria bak seorang artis yang sedang diliput wartawan.

“Zaw melu corat-coret baju di tempate jablon (tempat nongkrong teman-temanku semasa SMA)?” Tanya temanku yang cengar-cengir dari tadi karena dia mempunyai nilai yang memuaskan.

Aku hanya menjawab “tidak aja dech”. Aku putuskan tak langsung pulang setelah wisuda selesai, aku pergi kerumah temanku untuk menenangkan hatiku. Senja seakan mengisaratkan perasaanku yang sedih ditengah-tengah siswa-siswi yang berpesta dalam kesenagan merayakan kelulusan.

Banyak temen-temanku yang merayakan kelulusannya mulai dari yang hangout ketempat-tempat ramai, corat-coret baju seragam dan lainnya. Aku putuskan hanya berdiam dirumah temanku merenungkan kelanjutan sekolahku dan arti tetesan air mata orang tuaku yang mengalir saat wisuda tadi. Apa aku akan di perbolehkan masuk perguruan tinggi yang aku inginkan atau harus dipaksakan masuk perguruan tinggi yang berlatar belakang agama.

“Woe ini ada makan, makan dulu aja. Jangan  diam terus” panggil temanku sambil membawakan sebingkis makanan. Aku tidak menjawab hanya diam dan mengambil makanan yang dibawakan temanku tadi.
“Zaw, kamu tuch kenapa sejak tadi dirumahku kok diam terus. Cerita donk”
“Gini wid, aku takut ngelanjutin di perguruan tinggi yang berlatar belakang agama”
“Emang kenapa, kamukan dulu dari MTs Negeri”
“Bukanya gitu wid, aku tak menguasai segala yang berbau agama”
“Ya udah kalau gitu jangan dibuat sedih. Ayow maen Plays station aja buat ngilangin pikiran tentang kuliah”
“Ya dech Wid, ayow maen”

Aku berhasil menenagkan pikiranku sejenak melalui permainan plays station. Malam semakin larut, bintang-bintang mulai bermunculan di awan yang gelap bak menggambarkan isi hatiku ini. Jam sudah menunjukkan pukul 10:00 malam, akhirnya aku pulang dengan segala pertanyaan yang tak mampu kujawab dan akhirnya aku mulai pasrah dengan keadaan ini. Mungkin hanya waktu yang bisa menunjukkan.(S/Muwasaun Niam)
***

0 Comments