NU dan PMII |
LPMBURSA.COM, Jepara - Pada Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konfrensi Besar (Munas Konbes) NU 2014 di Jakarta kemarin memang ada satu bahasan menarik berkaitan dengan PMII sebagai organisasi gerakan yang lahir dari Rahim NU. Bahasan itu berkaitan dengan keinginan PBNU untuk menarik/meminta PMII kembali menjadi Banom (Badan Otonom) NU, sehingga dengan melakukan hal tersebut, secara strukturanl, NU memiliki Banom di wilayah mahasiswa yang memang akan menjadi jenjang struktural kader muda NU setelah di IPNU/IPPNU serta menjadi kader penerus di ANSOR dan pada akhirnya menjadi Stock Pemimpin untuk NU kedepan.
Wacara tentang keinginan NU untuk menjadikan PMII masuk secara structural memang bukan kali pertama, bahkan hal tersebut merupakan kelanjutan dari rapat pleno PBNU di Yogyakarta tahun 2011, dimana Komisi organisasi merekomendasikan kepada PBNU untuk membentuk underbouw (badan otonom) organisasi kemahasiswaan di bawah NU. Berdasarkan rekomendasi tersebutlah PBNU punya power untuk mengajak PMII kembali menjadi Banomnya, karena jika tidak mau, maka PBNU akan membentuk Banom baru di wilayah Perguruan Tinggi. Kali ini, isu kembalinya PMII ke NU (menjadi Banom) cukup kuat, hingga ada batasan waktu yang di tentukan PBNU yakni sampai berlangsungnya Muktamar PBNU 2015 mendatang. munculnya ide tersebut membuat banyak cabang-cabang PMII di seluruh Indonesia terus melakukan diskusi dalam menyikapi dengan arif keinginan PBNU untuk menjadikan PMII sebagai Banomnya.
Pro kontra tentang kembalinya PMII menjadi Banom NU memang hal yang wajar, ini mengingat cara pandang yang berbeda dalam mengikapi hal tersebut, yang terpenting tentunya kader-kader PMII harus menyikapinya dengan arif. Pun demikian, catatan sejarah secara jelas mencatat bawah PMII lahir dari Rahim NU pada tahun 17 April 1960 yang artinya awal munculnya PMII ialah Dependen dengan NU, dan saat NU menjadi partai politik, PMII mengambil sikap untuk independen melalui deklarai Munarjati 1972, tujuannya tentu agar ruang gerak PMII ideal dan tidak terikat dengan Partai Politik. Paska itu, saat NU sudah tidak menjadi partai politik, PMII mengambil sikap menjadi Interdependensi dengan NU (1991), karena diakui ataupun tidak PMII punya persamaan-persamaan persepsi keagamaan dan perjuangan, visi sosial dan kemasyarakatan, serta mempunyai ikatan historis dengan NU, sehingga PMII tidak akan mungkin bisa terpisahkan dari NU.
Persoalan Struktural
“independensi itu merupakan bukti dinamisnya anak yang mestinya diterima sebagai bukti obyektif bahwa kendati PMII terpisah secara struktur, tetapi dia masih terikat dengan ajaran-ajaran ahlussunah wal jama’ah.” (Mahbub Junaidi)Dari kutipan pendiri PMII (Mahbub Junaidi) diatas jelas Meskipun independen, PMII tetap bersama NU dalam memperjuangkan nilai-nilai Aswaja, sehingga mayoritas melihat Independensi hanya sekedar formalitas (Struktural). Pada praktiknya, PMII dengan NU sangat kental dan tak terpisahkan. Kader-kader PMII di banyak jenjang dan ruang menjadi penerus struktur NU, Banom-Banomnya, dan lembaga-lembaganya. Tunas-tunas PMII Lahir dari golongan NU baik dari pesantren ataupun dari keluarga NU, dan yang lebih menarik PMII masih menjalankan ritus yang sama sebagaimana lazimnya yang diajarkan para kyai (Ulama) NU.
Hingga saat ini Hubungan PMII dengan NU masih Interdependensi, jelas hanya secara structural saja PMII tidak terikat dengan NU, namun secara culture dan gerak sama atau bahkan selalu mengikuti Induknya (NU), Implementasi interdependensi PMII-NU menegaskan bahwa interdependensi bisa diwujudkan dengan berbagai bentuk, pikiran, dan kerjasama dalam berbagai bidang: pemikiran, pelatihan, pengembangan sumber daya manusia, dan berbagai rintisan program. Implementasi interdependensi tersebut didasari oleh: 1) PMII menjadikan ulama NU sebagai panutan; 2) adanya ikatan kesejarahan; 3) persamaan paham keagamaan; 4) persamaan wawasan kebangsaan, dan; 5) kesamaan kelompok sasaran. Hal tersebutlah yang menjelaskan ini hanya masalah Struktural belaka bukan masuk di wilayah culture.
PMII Masih di Rel NU
Aktifitas yang dilakukan Kader PMII dikesehariannya diakui ataupun tidak selalu meginduk pada ulama-ulama NU, sehingga Ulama NU lah panutan yang selalu memberikan solusi terobosan ketika PMII membutuhkan petuah dan solusi, seringnya komunikasi dengan para kyai NU lah yang membuat cara berpikir kader-kader PMII masih sama dengan NU. Selain itu, ketua PB PMII periode 2014-2016 (Aminudin Ma’ruf) pada sambutannya saat Pengukuhan PB PMII 2014-2016 di Jakarta juga menegaskan PMII harus kembali ke kampus dan Ke Majid (Pesantren), karena itu adalah lahan garapan PMII yang tidak boleh di tinggal kan, dan itu (Pesantren) adalah ciri NU.
Selain itu kita juga bisa mengamati gerakan Organ External, pola yang dilakukan akan membuktikan cara pandang mereka, tak terkecuali PMII. Kalau Kader GMNI bangga menggunakan gambar, dan mendiskusikan ajaran Bung Karno. Diwilayah lain kader HMI konsen dengan gagasan Nurcholis Majid. dan kader PMII menjadikan KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah, dan KH. Abdurrahman Wahid sebagai tokoh panutan dan rujukan dalam ruang-ruang diskusi. kesemuanya itulah salah satu bukti Ke-NU-an PMII.
Selain itu kita juga bisa mengamati gerakan Organ External, pola yang dilakukan akan membuktikan cara pandang mereka, tak terkecuali PMII. Kalau Kader GMNI bangga menggunakan gambar, dan mendiskusikan ajaran Bung Karno. Diwilayah lain kader HMI konsen dengan gagasan Nurcholis Majid. dan kader PMII menjadikan KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah, dan KH. Abdurrahman Wahid sebagai tokoh panutan dan rujukan dalam ruang-ruang diskusi. kesemuanya itulah salah satu bukti Ke-NU-an PMII.
Penulis: Ainul Mahfudz (Ketua PC PMII Jepara Periode 2014-2015).
*Artikel dimuat di Majalah SHIMA edisi 14 yang diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa BURSA Fakultas Syari'ah dan Hukum UNISNU Jepara
0 Comments