KASTRAT (Kajian dan Aksi Strategis) BEM FSH dan PMII RSH Diskusi dan Pernyataan Sikap Mengulas “Kontroversi Aisha Weddings"





Unisnu Jepara-(15/02/21), KASTRAT (Kajian dan Aksi Strategis) Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Syariah Hukum (BEM FSH) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Syariah dan Hukum (PMII RSH) melakukan pengkajian mengenai “Kontroversi Aisha Weddings” yang beberapa waktu lalu menjadi sorotan masyarakat dan menuai banyak kontroversi. Sebagaimana diketahui, istilah Aisha Weddings ini merupakan sebuah Weddings Organizer (WO) yang menjadi tempat untuk melengkapi acara pernikahan yang disinyalir melakukan kampanye tentang nikah siri, poligami, dan pernikahan anak usia dini (12-21 tahun). Dalam diskusi tersebut terdapat 3 pemantik dari Departemen Kastrat Bem FSH Unisnu, yaitu Ahmad Fatahillah, Lutviani dan Muhammad Emil Aba sebagai closing statement. Pemantik pertama yaitu Ahmad Fatahillah mengutarakan, “Menikah dini itu dapat merusak apa yang menjadi cita-cita seseorang dan juga karena belum sempurna sel-sel organ yang berkembang di diri seseorang wanita sehingga dapat menyebabkan kelahiran beresiko  kematian sangat besar dibanding dengan umur yang sudah memasuki fase produktif. Dalam masa itu ketika pernikahan dilakukan akan menyebabkan pendidikan anak tersebut terhenti. Pernikahan dini juga tidak sesuai dengan prinsip Maqashid Syariah. Selain itu, pernikahan dini juga menjadi ancaman kesehatan mental serta keberlangsungan pendidikan bagi anak.” ucap Ahmad Fatahillah.

“Ada istilah Delayedtrauma bagi anak-anak ketika ia mendapatkan kekerasan seksual (dimana anak dipaksa untuk berhubungan intim di saat organ-organ reproduksinya belum berkembang secara sempurna). Hal ini akan berdampak sepuluh-dua puluh tahun ke depan, seiring berkembangnya organ reproduksi si anak. Dalam artian, meskipun seiring berjalannya waktu akan membawa anak tersebut dewasa, trauma tentang berbagai macam rasa sakit dan sebagainya itu, akan selalu ada. Selain itu, adanya hukum juga untuk menjamin suatu kepastian. Kita tahu bahwa dalam sebuah pernikahan terdapat hak-hak dan kewajiban yang harus dilindungi demi hukum. Akan tetapi hal tersebut sangat tidak relevan manakala suatu pernikahan hanya dilakukan secara siri. Akan tetapi yang lebih saya sayangkan adalah ketika kita cermati, dalam beberapa konten yang telah disebarkan itu, banyak sekali kalimat-kalimat yang menggiring mindset seolah-olah pernikahan anak, nikah siri, atau poligami menjadi solusi paling baik dan juga menggunakan embel-embel agama. Selain itu, beberapa juga ada informasi yang keliru. Hal itu sangat tidak etis, melihat hampir semua penduduk kita sekarang yang sebagian hidupnya adalah dengan media sosial. Oleh karenanya selain bertentangan dengan undang-undang perlindungan anak, Undang-Undang perkawinan, perbuatan ini juga tergolong pelanggaran terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yakni menyebarkan informasi yang menyesatkan dan juga meresahkan”, ujar Lutviani.

Sedikit menambahi Abdullah Muttaqin selaku Gubernur Bem FSH juga menambahkan bahwa “memang menikah dapat mengurangi zina, tetapi bukan solusi juga apabila dalam pernikahan tersebut malah menimbulkan berbagai kemafsadatan. Dan untuk mengurangi angka pernikahan sendiri sebenarnya dapat dilakukan melalui pendidikan”.

“Dalam memahamkan kasus ini kita perlu memperhatikan diksi kata yang dipakai oleh pihak Aisha Weddings yang ternyata menimbulkan keresahan di masyarakat. Satu contoh seperti kalimat ‘menikah 12-21 tahun diberkahi oleh Allah’ . Dalam hal ini tidak dapat kita samakan dengan situasi di masa Rosulullah ketika menikahi sayyidah Aisyah. Pembahasan ini tentu berbeda dengan situasi sosial masyarakat kita di masa sekarang. Yang perlu digaris bawahi kemudian adalah apakah pihak Aisha Weddings berikut beberapa diksi yang ia paparkan kemudian bisa mengurangi adanya pernikahan dini/percerain dini atau malah menambah beban pemerintah yang di tahun 2024 bercita-cita menciptakan generasi unggul? Maka dalam hal ini ketika kita membahas tentang beberapa persoalan menyangkut ini adalah pertanyaan apa yang sejatinya menjadikan kasus ini dipersoalkan? Ternyata hal tersebut menimbulkan keresahan di masyarakat. Kemudian kenapa masyarakat resah? Karena terdapat redaksi kata. Redaksi kata seperti apa? Ternyata disitu ditemukan beberapa redaksi kata yang menjurus pada pelanggaran HAM, perlindungan anak, dan kesehatan generasi kita. Selain itu kita juga harus membedakan dengan adat kita. situasi ketika Rosulullah menikahi Sayyidah Aisyah dengan era sekarang yakni motifnya apa? Padahal Aisha Weddings ini disebar di seluruh media platform internet. Jadi diperlukan satu tindakan yang tegas dalam menanggulangi persoalan ini.” Ucap Emil

Dari hasil Analisa di atas Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Bersama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Syariah dan hukum menyatakan dengan tegas menolak segala macam kampanye pernikahan dini dengan berbagai persoalannya dan mendesak agar Polri bisa mengusut tuntas kasus Aisha Weddings secara hukum, dan meminta Kemenkominfo untuk dapat menghapusnya secara permanen prihal konten-konten tersebut.

(Erny/LPM BURSA/BEM FSH/PMII RASYA)

 

 

 

0 Comments