Muhlisin al Othonk* |
Ekonomi Islam Sebagai Ekonomi
Masa Depan
Oleh: Muhlisin al Othonk*
Beberapa Negara
di dunia tengah merasakan dampak krisis ekonomi global tidak hanya Negara miskin
dan menengah Negara-negara elit Eropa dan Amerika yang tergolong sebagai Negara
maju pun ikut merasakan imbasnya. Krisis ini adalah suatu indikasi terhadap
rapuhnya Sistem Ekonomi Kapitalis yang selama ini dianut oleh berbagai Negara
di belahan dunia yang didominasi oleh sektor moneter.
Nampaknya kita
harus mencari alternatif lain yang lebih efektif, Ekonomi Islam dengan sistem
syari’ah adalah solusi lain yang sedang ramai diperbincangkan banyak orang dan
digadang-gadang (diharapkan-red) mampu menjadi penangkal terhadap
rapuhnya Sistem Ekonomi Kapitalis.
Sebuah Perbandingan
Belum lama ini,
BI menyelenggarakan acara Workshop on Islamic Finance di Jakarta yang dihadiri
oleh anggota Developing 8 (D8) diantaranya Indonesia, Bangladesh, Mesir, Iran,
Malaysia, Nigeria, Pakistan dan Turki. Dari hasil pertemuan tersebut ternyata
banyak Negara-negara anggota yang tertarik dan ingin belajar tentang perbankan
dengan Sistem Syari’ah di Indonesia. Mereka menilai perbankan dengan Sistem
Syariah mampu menjangkau pengusaha mikro kecil dan menengah (UMKM), di samping
hal tersebut Ekonomi Islam tidak menekankan bunga, hal ini telah di buktikan
oleh Bank Syari’ah pada saat krisis yang terjadi pada tahun 2007 ketika
bank-bank nasional (konvensional) mengalami Negative Seread, bank-bank
yang berprinsip syari’ah terhindar dari kerugian akibat bunga simpanan lebih
tinggi dari bunga kredit.
Melihat fakta di
atas, bukan hal yang mustahil jikalau Ekonomi Islam menjadi acuan bagi
Negara-negara di dunia dan menjadikan Ekonomi Islam sebagai kiblatnya ekonomi
dunia. Di Indonesia sendiri, Ekonomi Islam dengan sistem syari’ahnya mengalami
perkembangan yang sangat signifikan ini terbukti pada tahun 2011 jumlah usaha
mikro syari’ah yang mencapai 155 unit dengan 36 area di seluruh provinsi
Indonesia.
Sistem Ekonomi
Islam adalah sistem ekonomi yang sempurna. Dalam prakteknya, Ekonomi Islam melarang
praktek-praktek usaha yang didasari oleh riba, baik nasiah maupun fadhal
maysir dan gharar hal ini bereda dengan kapitalisme yang
menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya.
Sistem Ekonomi
Islam melarang penjualan komoditi sebelum dikuasai oleh penjualnya, sehingga haram
hukumnya memperjual-belikan barang yang tidak menjadi milik seseorang. Tidak
boleh memindah-tangankan kertas berharga, obligasi dan saham yang dihasilkan
dari akad-akad yang batil (tidak sah-red). Dalam Ekonomi Islam juga
melarang individu, institusi, dan perusahaan memiliki apa yang menjadi kepemilikan
umum (Nasuha Faqih; 2007). Ini sangat
bertentangan dengan Ekonomi Kapitalis yang lebih mementingkan hak milik
dan kepentingan individu dan menafikan kepemilikan umum, tidak menyeimbangkan
antara unsur material dan immaterial, ini bisa dilihat dari cara-cara kaum
kapitalis yang mulai menswastanisasi perusahaan-perusahaan milik Negara dan
mengexplorasi kekayaan alam tanpa batas seperti barang tambang, air dan
kekayaan alam lainnya.
Pengembangan
modal dalam Sistem Ekonomi Islam didasarkan pada prinsip-prinsip syirkah (gotong
royong-red), sehingga mampu menciptakan keadilan dalam pengembangan modal, bukan
menumpuknya modal pada pada kalangan tertentu. Dalam Ekonomi Islam, sektor financial
mengikuti pertumbuhan sektor riil, jelas ini sangat berbeda dengan konsep
kapitalis yang memisahkan sektor finansial dan riil yang akibat dari pemisahan
ini berdampak pada ekonomi dunia yang rawan krisis. Sebab pelaku ekonomi tidak
lagi menggunakan uang untuk kepentingan riil, tetapi untuk kepentingan
spekulasi mata uang. Spekulasi inilah yang dapat mengguncang ekonomi di berbagai
Negara yang dimainkan oleh beberapa spekulan (Nasuha Faqih; 2007).
Kapitalis Pangkal Krisis
Uang, uang dan
untung itulah yang ada dalam pikiran kapitalis menghalalkan segala cara dengan menciptakan praktek-praktek ekonomi
yang mengandung spekulasi, gharar dan riba.
Praktek ekonomi terlarang itulah yang disinyalir oleh beberapa pihak sebagai
fakor terjadinya krisis ekonomi dunia.
Dalam prilaku
ekonomi di bursa efek, dalam penetapan harga penjualan suatu saham perusahaan
dimasukan perkiraan laba yang akan dibagi dan ditambah dengan komisi atas
kepiawaian direksi pengelola perusaaan tersebut. Makin baik pengelolaan dan
prospek suatu perusahaan diperkirakan akan semakin besar laba yang dihasilkannya
sehingga membuat penawaran di bursa efek semakin besar, sekalipun nominal yang
tercantum dalam saham itu tetap. Yang menjadi permasalahan disini adalah ketika
prospek yang diperkirakan oleh perusahaan tersebut meleset. Dalam hal ini jelas
terdapat unsur gharar (spekulatif-red) dan prospek yang
diperkirakan itu adalah sebuah hal yang abstrak sehingga jual beli saham di
bursa efek sama halnya dengan membeli kucing dalam karung. Padahal Rasulullah SAW
telah melarang jual beli sesuatu yang ma’dum (abstrak-red).
Kelebihan uang
dari harga nominal saham dalam pasar modal, pemborongan saham ketika harga
murah dan menjualnya saat harga mahal, tiada lain adalah praktek riba karena
keuntungan yang didapat tanpa didasari oleh sektor riil, hal ini sangat berbeda
dengan Ekonomi Islam (syari’ah) dengan prinsip murabahah, ijarah
dan bagi hasil yang menitikberatkan pada sektor keuangan dan sektor riil.
Menurut Khalid
Abdurrahman Ahmad, Pakar Ekonom Islam Kontemporer di Arab Saudi, mengatakan
bahwa jual beli saham di bursa efek tidak dibenarkan oleh syari’at islam. Ada
beberapa alasan yang di kemukakannya:
1. Uang
kelebihan harga saham dari harga nomonalnya tidak diketahui wujudnya dan tidak
diperhitungkan ketika pembagian keuntungan perusahaan kepada pemilik saham.
Oleh sebab itu dari sisi ini jual beli saham mengandung unsur penipuan.
2. Perusahaan
yang menjual sahamnya ini tidak lagi didirikan melalui aktivitas anggota pemegang saham. Tetapi lebih berubah
fungsi menjadi perusahaan penimbun kekayaan. Ini tidak dibenarkan dalam islam,
islam menghendaki agar kekayaan suatu perusahaan muncul dari jerih payah
mengelola dan memproduksi suatu perusahaan.
3. Batas
waktu berakhirnya perserikatan pemilikan saham majhul (tidak jelas-red).
Sedangkan majhul sendiri tidak dibenarkan dalam muamalah islam.
4. Untung
dan rugi yang menimpa perusahaan tidak mempengaruhi harga saham di pasar modal,
sehingga pemilik saham akan tetap mendapat laba.
5. Komisaris
dan anggota direksi selaku pengelola perusahaan selalu memperoleh kuntungan.
Padahal dalam syari’at islam, upah yang diterima seseorang diperhitungkan dari
untung atau ruginya suatu perusahaan.
Nampaknya kita
belum sepenuhnya sadar, bahwa praktek ribawi yang diterapkan oleh Bank Dunia dan
IMF yang di bentengi oleh kaum kapitalis telah membuat berbagai Negara di belahan
dunia terlilit utang, tak terkecuali Raksasa Ekonomi AS yang besarnya tak kurang
dari 14 triliun Dollar AS. Negara kita sendiri, hutang pemerintah Indonesia
hingga oktober 2011 mencapai 1768,04 triliun rupiah dan rencananya akan
menambah lagi 250 triliun rupiah pada tahun 2012 ini. Berdalih membantu tidak
tahunya malah justru mencekik “sungguh luar biadab”.
Melupakan Agama
Pada dasarnya
tiap-tiap agama mengajarkan kebaikan dalam kehidupan, tidak terkecuali dalam
hal pemenuhan kebutuhan (ekonomi). Dalam kitab-kitab samawi (turun
dari langit-red) pun terdapat larangan-larangan praktek transaksi yang
melibatkan bunga atau riba. Bagi kaum yahudi dan Kristen dalam injil perjanjian
lama misalnya, secara tegas melarang pemungutan riba seperti tersebut dalam
Nehemiah 5:11 dan Eksodus 22:25, dan sebagainya.
Bagi kaum Hindu,
Hukum Manu 9.263 mengingatkan bahwa “para pencuri yang pikirannya selalu
diselimuti kejahatan, yang secara diam-diam membuat kerusakan di bumi, tidak
dapat dikendalikan kecuali dengan hukuman”.
Dalam Islam larangan
riba sangat jelas, misalnya dalam Al Qur’an 3: 130 mengingatkan, ”Hai
orang-orang yang beriman, jangan kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. Dan itu
hanya sebagian kecil dari beberapa ayat yang menerangkan tentang riba.
Rupanya kita
telah terbutakan oleh keindahan dunia sehingga kita tidaklah lupa (saya kira-pen),
tetapi sengaja untuk melupakan Agama.[s]
*MUHLISIN AL
OTHONK
Editor LPM Bursa
Periode 2011-2012
0 Comments