Hari Pahlawan |
Judul tulisan ini bukanlah kalimat yang bernuansa politis-ideologis seperti halnya simbol-simbol golongan tertentu. Akan tetapi lebih menyimpan muatan “pesan” implisit para pejuang kemerdekaan Indonesia menuju bangsa yang merdeka sesuai dengan amanat para pendiri NKRI yang tertuang dalam mukaddimah UUD 1945. Kedua kalimat dalam tanda kutip di atas mempunyai sinergitas yang sama dan seimbang dalam merefleksikan jasa perjuangan para pahlawan, dimana JASMERAH mengandung arti “jangan sekali-kali melupakan sejarah”, sedngkan JASHIJAU mengandung arti “jangan sekali-kali melupakan jasa ulama”. Namun dalam kaitannya dengan peristiwa 10 Nopember, kalimat kedua kurang bahkan terkesan tidak ada apresiasi dari berbagai kalangan termasuk pemerintah sehingga perlu untuk diungkap dan dikaji sejarahnya secara faktual, proporsional, dan komprehensif.
Puluhan ribu bahkan ratusan ribu rakyat Indonesia menjadi syuhada' karena membela tanah air dan bangsa. mereka rela meninggalkan istri, anak, orang tua, harta untuk merebut kemerdekaan, mereka mengorban keringat, darah bahkan nyawa untuk membela, memperjuangkan rakyat Indonesiar agar bebas dari belenggu penjajahan dan penindasan. Bagi mereka, untuk NKRI pada saat itu hanya satu kalimat ” Merdeka atau Mati!”. Merdeka dalam artian merdeka secara politik, berdirikari dalam bidang ekonomi, dan terbebas dari belenggu penindasan dan kemiskinan.
Pertanyaan mendasar terkait peristiwa heroik yang terjadi pada tanggal 10 November 1945 yang kemudian ditetapkan menjadi hari pahlawan adalah apa yang menjadi latar belakang terjadinya peristiwa tersebut? pasca proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia yang dikumandangkan oleh Ir. Soekarno yang sekaligus menjadikan Negara ini sebagai Negara berdaulat, pada tanggal 27 Oktober 1945, Mr. Ploegman mencoba mengusik ketenangan dan kegembiraan itu dengan mengibarkan bendera merah putih biru (bendera Belanda) di hotel Yamato Surabaya. Hal ini tentu mengusik dan melecehkan darah juang pemuda Surabaya, sehingga sekelompok pemuda dengan gagah berani menaiki ketinggian dimana bendera tersebut berkibar, merobek dan menyisakan dua warna saja, merah dan putih, sementara biru dilepas. Hal itulah yang dirasakan sebagian pemuda Indonesia yang berada di Surabaya kala itu, termasuk Bung Tomo yang terkenal sebagai pengobar api perjuangan sampai pada puncaknya meletuslah peristiwa 10 Nopember 1945.
Bung Tomo dan Resolusi Jihad
Apakah hanya Bung Tomo tokoh sentral dalam peristiwa Surabaya? Tentu jawabnya adalah tidak! Dalam alur sejarah disebutkan peranan Gubernur Jawa Timur, Surjo yang menginstruksikan perang kepada Rakyat Surabaya. Ada juga peran Hadratus Syaikh K. H. Hasyim Asy'ari pendiri dan Rais Aam pertama Nahdhatul Ulama. Berdasarkan penuturan orang-orang yang dekat dengan Hadratus Syaikh dikatakan bahwa jauh sebelum peristiwa Surabay terjadi Bung Tomo sering sowan ke Hadratus Syaikh untuk meminta restu dan dukungan dalam memerangi Belanda, Inggris dan Jepang. (majalah Hikayah, Edisi 10 Th. IV, Desember 2005 hal. 55) Hal ini juga disebutkan oleh Sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara dalam bukunya Api Sejarah jilid 2. Akhirnya Hadratus Syaikh menjawab tantangan itu setelah menggelar Syuro (Musyawarah) dengan kiai-kiai sepuh NU yang lain juga dengan pemuda-pemuda NU yang bergabung dalam Anshor Nahdhatul Ulama dengan mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad Nahdhatul Ulama tanggal 22 Oktober 1945.
Resolusi Jihad memutuskan bahwa perang melawan Belanda yang hendak menjajah kembali Indonesia dan Inggris yang membantunya sebagai jihad fi sabilillah dan wajib bagi segenap umat Islam. Mati dalam melakukan perang ini adalah mati syahid. Kemudian dalam Kongres Umat Islam (muktamar Umat Islam) tgl 7 November di Yogyakarta menghasilkan resolusi 60 miljoen umat Islam siap berjihad fi sabilillah dan mendukung resolusi Jihad Nahdhatul Ulama. Bung Tomo pun menjadi bertambah semangatnya untuk berperang melawan sekutu dan NICA Belanda yang meboncengnya. Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari memerintahkan kepada Bung Tomo agar jangan melakukan perang besar-besaran kepada sekutu sebelum datangnya pemimpin Pondok Pesantren Buntet, Cirebon yaitu KH Abbas dan anaknya KH Anas yang dianggap paling ahli dalam kitab Perang Jihad Fi Sabilillah dan diyakini sebagai salah seorang wali. Ternyata KH Abbas, KH Anas dan santri pesantren Buntet tiba di Surabaya sebelum 10 November 1945 sehingga pada peristiwa 10 November 1945 Bung Tomo menjadi yakin untuk melancarkan perang jihad fi sabilillah. Ternyata berkat resolusi jihad ini berbondong-bondong kiai dan santri dan Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Jakarta, apalagi Jawa Timur bergerak menuju Surabaya untuk berpartisipasi dalam Perang Sabil di Surabaya. Beberapa media massa nasional pada masa itu menyebut perang di Surabaya yang sudah dimulai sejak Oktober 1945 sebagai Perang Sabil atau Perang fi Sabilillah. sayangnya peran pala ulama yang berjihad fi sabilillah seakan 'dihilangkan' oleh pemerintah masa itu akibat adanya arus moderinisasi dan menghilangkan bekas-bekas perjuangan kaum ulama dan para santri. Sejak saat itu tanggal 10 November ditetapkan pemerintah RI sebagai hari Pahlawan.
0 Comments