Wedang Kopi - Negara Kita, Negara Tulisan

Negara Kita, Negara Tulisan
Oleh: M. Maghfurir Rohman


Sering kita mendengar dan membicarakan tentang hukum berfungsi sebagai control sosial bahkan sebagai rekayasa sosial, sehingga setiap mendengar pernyataan tersebut kita berasumsi hukum yang telah dibentuk sedemikian rupa (undang–undang) adalah hal yang sangat berkuasa, sehingga mampu untuk menjinakkan dan juga harus dipatuhi oleh siapapun, dimanapun.

Pemahaman hukum secara normatif berkaitan erat dengan penyiapan sumber daya manusia untuk menjadi tenaga kerja professional, seperti hakim, advokat dan jaksa. Bagi mereka hukum positif menjadi pegangan pokok, karena itu selalu melihat kehidupan masyarakat dari optic yuridis.
Hukum tidak bisa dilihat hanya sebagai kumpulan materi hukum yang berbentuk seperti undang – undang, putusan hakim, namun dibalik semua itu dia mempunyai sosok (gestalt) / jati diri. Sehingga hukum tidak cukup dilihat dari sosok yang berbentuk undang – undang yang terkesan kaku. Ketika semua manusia yang bergelut dalam dunia hukum mampu untuk memahami sebuah hukum yang sebenarnya mempunyai sosok keadilan maka cita – cita dan harapan setiap manusia untuk mendapatkan keadilan akan segera terealisasikan.

Ketika kita menyaksikan berita yang ada dalam televisi pada saat ini, kita sering menyaksikan para pejabat Negara dan juga para elit politik banyak yang tersandung perkara korupsi, selain itu juga kita tidak jarang menyaksikan berita terkait kriminalitas “pencurian” yang dilakukan oleh rakyat yang kurang mampu, contoh saja pencurian yang dilakukan AAL, remaja berusia 15 tahun, siswa SMK Negeri 3 Kota Palu, Sulawesi Tengah, yang terancam hukuman lima tahun penjara karena mencuri sandal jepit butut pada beberapa bulan lalu.

Namun ketika kita menyaksikan para koruptor yang telah mencuri uang rakyat yang nominalnya jauh lebih besar ketimbang pencuri sandal jepit butut, mereka”koruptor” mendapat hukuman jauh lebih ringan dan mendapat tempat yang berfasilitas mewah. Dengan adanya kejadian tersebut, masyarakat sudah tidak percaya pada hukum “pemegang palu”, yang sering menggembar–gemborkan dengan mengatas namakan keadilan yang maha kuasa. Namun yang terjadi malah sebaliknya yakni keadilan bagi orang–orang yang berkuasa. Dan  hukuman yang diputuskan sering kali tidak menunjukkan rasa keadilan dan juga rasa kemanusiaan. Selain itu banyak masyarakat yang menilai bahwa hukum hanyalah milik orang–orang yang mampu untuk membelinya, padahal kita ketahui bahwasanya hukum adalah milik seluruh masyarakat tanpa terkecuali, yang diharapkan akan mampu untuk memberi keadilan dan ketentraman sehingga cita–cita dari dibentuknya hukum mampu untuk menyentuh nilai–nilai hukum.

Pada umumnya hukum memang ditulis dan kemudian diumumkan kepada public, sehingga mereka mampu untuk memahami hukum yang telah dibuat oleh legislative dengan demikian masyarakat mampu mengetahui apa yang menjadi hukum dalam masyarakat. Namun yang sekarang menjadi pertanyaan adalah, apakah yang sebenarnya ditulis atau dirumuskan itu? Apakah rumusan tersebut sama halnya dengan hal yang dirumuskan? Apakah rumusan tersebut bisa diterima dengan kebenaran yang absolute ataukah hanya sebagai pedoman dalam memberikan keadilan?.

Kita lihat saja dalam rumusan yang mengatakan bahwa “barang siapa yang mengambil barang milik orang lain dengan bertujuan untuk dimiliki diri sendiri, diancam dengan pidana karena pencurian ”. dalam teks tersebut jika kita amati secara tekstual maka siapapun yang melakukan pencurian maka bisa dipidana tanpa melihat apa yang melatar belakangi orang tersebut melakukan pencurian.

Dalam memahami perilaku seseorang haruslah kita melihat dari beberapa sudut pandang, dari sudut pandang ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya, sehingga hukum mampu untuk menyentuh keadilan. Sekarang yang bisa dibuat contoh adalah orang mencuri karena dia kelaparan dengan orang mencuri karena untuk dibuat membeli minuman keras, dengan nominal yaang sama. kira–kira yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah kedua orang tersebut akan dijatuhi hukuman yang sama? Jika mendapat ganjaran yang sama maka hukum yang digadang–gadang untuk memberi keadilan bagi masyarakat tidak mampu untuk membaca realita sosial yang selalu berubah–ubah dari waktu ke waktu  dan juga tidak mampu untuk memberi solusi.
Sekarang yang perlu kita sadari berkaitan dengan hukum adalah sebenarnya hukum itu sepenuhnya merupakan produk dari masyarakat yang tidak mudah direduksi kedalam undang–undang. Dan hukum yang telah terkodifikasi dituntut untuk mampu mengikuti perkembangan sosial, sehingga  tidak terkesan kaku dan masyarakat mampu untuk tersentuh oleh keadilan, bukan malah tersentuh oleh keseragaman yang telah terbukukan. Karena didalam hukum yang terdapat di dalam kitab suci “undang-undang” yang ingin dicapai adalah keadilan, kegunaan dan kepastian hukum.

Dan sekarang mengamati hukum bukanlah sekedar hanya melihat dan membaca coretan hitam diatas putih yang telah dibuat legislatif, yang hanya melihat dalam susunan internal sistem hukum secara logis–rasional, melainkan juga melihat efektifitas hukum itu. Karena hukum juga harus diarahkan kepada bekerjanya dari pada isinya yang abstrak dan menekankan bahwa aturan–aturan hukum itu harus lebih dipandang sebagai pedoman untuk mencapai hasil yang dianggap adil oleh masyarakat dari pada sebagai kerangka yang kaku dan seolah–olah tidak mampu untuk merespon konteks sosial yang selalu berkembang dari waktu ke waktu. Sebenarnya yang harus diketahui bersama merupakan hukum yang memang dituntut untuk mampu berinteraksi dengan sosialnya, sehingga hukum menjadi sarana yang dipakai untuk mencapai tujuan–tujuan yang jelas.[S]

0 Comments