Transisi pelajar dari jenjang pendidikan menengah atas ke bangku perkuliahan tidak hanya berubah dari sisi formalitas melainkan harus di ikuti dengan kualitas intelektualitas. Hal ini menjadi salah satu yang cukup substansional bila dibenturkan dengan realita sosial dunia pendidikan yang hanya mengejar formalitas akademika, yang berorientasikan mendapatkan pekerjaan dengan selembar kertas dari perguruan tinggi. Sangat disayangkan jika hal tersebut masih melegenda di lingkungan akademik.
Banyak sekali definisi tentang mahasisiwa, kalau masyarakat awam menyebutnya orang-orang pandai, orang yang banyak wawasan dan lain sebagainya. Dari pengertian yang didefinisikan oleh masyarakat awam tadi tentu tidak keluar jauh dari subtansi pengertian kaum pelajar. Mahasiswa adalah kumpulan orang-orang terdidik, yang memiliki kecerdasan intelengensia, serta teori- teori tentang suatu problematika sosial yang kemudian diselesaikan dengan teori-teori yang ditimba dari perguruan tinggi secara empiris. kemudian di terapkan dalam masyarakat. Itulah yang membedakan antara anak SMA dengan kaum-kaum intelegensia. Mahasiswa juga disebut dengan agent of change yaitu sekelompok orang yang melakukan perubahan terhadap suatu keadaan menuju kearah yang lebih baik.
Kita mungkin lupa atau mungkin juga pura-pura lupa dengan sejarah, kalau tanah air tercinta ini pernah menjadi Negara yang dihormati oleh Negara-negara lain, penghormatan itu tak lantas datang dengan sendirinya melainkan membutuhkan perjuangan yang keras dari para pahlawan reformasi yang menggabungkan antara beberapa elemen masyarakat dari berbagai komponen masyarakat. Keikutsertaan mahasiswa dalam mengawal perubahan pernah mendapat legitimasi sejarah, semenjak berdirinya Negara menjadi bagian yang diakui dari system politik. Hal tersebut tidak lepas dari peran para pejuang semisal, dari bapak proklamator yang terkenal dengan sebutan lewat kelompok-kelompok setudinya. Bung Hatta dengan membentuk perhimpunan Indonesia dimana orang-orangnya adalah dari kaum terdidik ternyata mampu membangun semangat kemerdekaan.
Tak harus melakukan perubahan yang besar untuk mengawalinya kalu kita mau merubah keadaan yang sekarang ini, coba kita awali dari lingkungan yang terkecil dari lingkungan sekitar misalnya. Realita sosial yang sering kita temui mungkin banyak hal yang harus di kawal bagi orang yang mengaku kaum intelektual, mengawal kebijakan-kebijakan yang sama sekali tidak menguntungkan masyarakat, khususnya pada masyarakat di Jepara. Indeks pembangunan manusia (IPM) menunjukkan bahwa pemberdayaan akan masyarakat jepara yang di lakukan pemerintah masih sangat minim, masih belum tepat sasaran semisal jumlah orang yang masih buta huruf atau orang yang belum bisa baca tulis masih 7 % dari jumlah penduduknya. Rata-rata pendidikan masyarakat jepara 9 tahun, hal ini menjadi perhatian bersama bahwa sebenarnya IPM menentukan majunya suatu daerah. Sangat mengenaskan sekali kesadaran akan pendidikan masyarakat masih rendah. Jumlah pendapatan dari masing-masing kepala keluarga laki-laki 72,9%, sedangkan perempuan 22%.
Sangat ironi sekali hal ini terjadi di jepara apabila kita lihat dari pendapatan pemerintah daerah yang setiap tahun kurang lebih ada sekitar 1,3 T. Hal ini mengindikasikan perlu adanya pengawalan dari seluruh komponen masyarakat khususnya dari kalangan civitas akademika.
Daftar Bacaan
Sayid Mustofa Kristeva, Nur. 2011, Manivesto Wacana, Istitut For Philosophycal And Social Studies: Jogjakarta
Rangkuman Dalam Seminar Pra MAPABA 2012. Oleh: Mayadina Rahma Musfiroh, MA.
0 Comments