Memegan Megaphon: Mahasiswa sedang melalkukan aksi damai |
Untuk mengetahui arti mahasiswa dan idelalisme sendiri terlebih dahulu kita perlu tahu arti kedua kata itu secara konkrit. Membuka kamus besar bahasa Indonesia, mahasiswa adalah generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai tanggunng jawab, intelektualisme, keagamaan, social dan kemasyarakatan. Sedangkan kata idealisme adalah sebagai hidup menurut cita-cita menurut patokan yang dianggap sempurna. Kenyataanya setiap mahasiswa tidak bisa mengetahui seperti apa standart yang sempurna / idealisme tersebut, tetapi bagi mahasiswa intelek dan kritis transformatis adalah harus berbuat dengan panggilan moral untuk kepentingan bersama.
Kenyataan besar sekarang, idealisme yang ada pada diri mahasiswa sudah sedikit banyak terkikis oleh paradigma-paradigma baru dilingkungan mahasiswa seperti hedonisme, pragmatisme, dan apatisme yang sekarang mulai menjangkit para aktifis mahasiswa. Mahasiswa sekarang yang dilengkapi dengan fasilitas yang sebenarnya justru dapat memudahkan akses komunikasi atau jaringan justru malah menjadi salah satu factor mahasiswa cenderung acuh pada tugas dan tanggungjawab sebagai mahasiswa. Mahasiswa sekarang rata-rata hanya mencari kesibukannya sendiri mulai dari kamar, kost, kampus, kantin atau biasa disebut 4 K dikalangan para aktifis. Berbanding terbalik dengan keadaan mahasiswa 98 an yang mampu menumbangkan rezim orde lama dengan semangat reformasi sebagai aktualisasi diri mahasiswa untuk kepentingan bersama.
Pertanyaan besar sekarang, sejauh mana kepedulian kita terhadap aktualisasi diri yang berimplikasi pada asas manfa’at kepentingan bersama? Realita yang ada pada mahasiswa sekarng itu lebih cenderung hanya pandai “ngomong doank” atau hanya bicara saja tanpa adanya implementasi serta aktulaisasi langsung dari semua teori dan materi yang dipelajari. Diskusi-diskusi sering diadakan para mahasiswa untuk menunjang intelektulaitas dalam teori dan materi tetapi banyak juga bahkan hamper sebagian besar mahasiswa hanya terjebak disitu. Artinya, mereka sibuk dengan pengembangan wacana tanpa adanya tindakan nyata yang berbentuk praktek atau aksi sebagai bentuk implementasi dan aktualisasi nilai idealisme mahasiswa terhadap masyarakat atau kepentingan bersama.
Memang, ada yang berasumsi bahwa dalam tahapan mahasiswa hanya baru tahpa pengembangan wacana sebagai modal terjun ke masyarakat. Tetapi perlu digaris bawahi bahwa teori dan materi itu tidak akan berguna banyak jika tanpa aksi nyata apalagi ditataran mahasiswa yang dikatakan agennya perubahan. Lalu apa yang mau dirubah kalau kita hanya berputar pada teori dan bicara tanpa adanya tindakan nyata.
Disatu sisi, kenyataan mahasiswa yang hanya bicara ini lebih berguna karena sudah memiliki bekal wacana yang matang daripada kenyataan yang memprihatinkan sekarangdari mahasiswa di universitas-universitas yang ada tidak terkecuali negeri ataupun swasta. Bahwa, mahasiswa sekarang lebih bersikap hedonnis, pragmatis, dan apatis terhadap kegiatan-kegiatan social minimal diorganisasi kampus yang notabenenya adalah sebagai wadah pembelajaran efektif yang tidak ditemukan dibangku kuliah.
Mahasiswa telah disibukkan dengan kepentngan pribadi dan kuliahnya. Fluktuasi (naik turun) semangat berorganiasi mulai dirasakan para aktifis mahasiswa baru-baru ini. Bagaimana sulitnya recruitment anggota itu dilakukan. Padahal sebagai penyadaran bahwa organisasi disuatu kampus itu bisa menjadi suatu wadah untuk menyalurkan aspirasi dan untuk pembelajaran efektif mengatur sekelompok orang sebagai modal ke masyarakat. Jadi jika mahasiswa menginginkan pelatihan ataupun kegiatan apa yang bisa menunjng mahasiswa dari segi intelektual ataupun potensi tinggal disampaikan saja keinginannya tersebut pada organisasi itu, jika pada tingakatan BEM (badan eksekutif mahasiswa). Dan organisasi bisa menjadi wadah untuk menyalurkan bakat, minat, serta hobi jika itu pada tingkatan UKM (unit kegiatan mahasiswa) dan UKK (unit kegiatan kampus). Seperti pecinta alam, pramuka, jurnalistik, olahraga, seni dan budaya, bahasa, dll.
Jadi tinggal mahasiswanya itu sendiri mau belajar atau berproses tidak di organisasi itu. Seperti diawal bahwa fasilitas yang serba mudah justru membuat ghiroh mahasiswa kurang dalam berorganisasi. Meskipun itu bukan alas an utama. Pribadional mahasiswa sendiri yang menentukan dia mau tidaknya ikut berproses dalam berbagi organisasi jika sudaj melihat penting atau tidaknya organisasi untuk masa depan. Agar mahasiswa tidak gagap jika bersosialisasi dalam masyarakat. Agar mahasiswa tidak dikatakan “ngomong doank”.
Lalu apakah mahasiswa itu harus ikut organisasi kampus semua seperti para aktifis? Tidak, Karena setip mahasiswa memiliki kepribadian yang berbeda memliki potensi, minat, dan bakat yang berbeda pula. Jadi salah juga kalau kita menganggap mahasiswa yang tidak berorganisasi itu mahasiswa yang keliru atau lainnya. Kita tidak tahu barangkali mereka lebih aktif di organisasi atau komunitas yang sesuai dengan potensi mereka masing-masing. Semua itu tergantung pemikiran pribadional mahasiswa itu sendiri.
Mari kita jadikan refleksi, apa yang kita cari cari maka akan kita dapatkan. Jika kita kuliah hanya ingin mendapatkan teman bahkan pacar hasilnya tentu tidak jauh dari itu semua. Semua tergantung niatnya. Dikatakan, denga niat seribu jalan akan ditemukan tetapi jika tanpa niat seribu alasan akan dikeluarkan.
Menjadi pilihan besar, fail to plan or plan to fail “gagal dalam merencanakan atau merencanakan suatu kegagalan”
0 Comments