BURSA; OPINI MAHASISWA

Proyek Penambangan Pasir Balong

Ancam Kualitas Lingkungan Laut Boyong

 


Desa Balong merupakan salah satu desa yang memiliki ekosistem lingkungan dan pasir laut yang bagus, di samping tempat wisata yang eksotis. Wilayah laut dan daratnya memberikan ribuan berkah kehidupan bagi warganya serupa nelayan, petani, dan mata pencaharian lain karena potensi dan kualitas lingkungannya. Rencana penambangan pasir dalam waktu dekat yang akan dilakukan PT Bumi Tambang Indonesia (BTI) dan PT Energi Alam Lestari (EAL) guna menguruk tanggul pada proyek Tol Demak-Semarang menuai pro kontra di antara kalangan pemerintah daerah dan warga sekitar dengan berbagai dampak positif dan negatifnya.

Sisi positif penambangan pasir di Balong adalah untuk menunjang infrastruktur guna meningkatkan perekonomian bangsa yang diaktualisasikan untuk pembangunan proyek tanggul Tol Laut Semarang-Demak. Namun ada satu garis bawah penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah bahwa Pantai Balong merupakan salah satu destinasi wisata andalan dan sumber mata pencaharian nelayan Jepara yang masih sangat asri dan alami. Ketika proyek penambangan ini dilancarkan sesuai keputusan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat (PUPR), tentunya akan ada kontra produktif dengan salah satu cita-cita Jepara untuk mengembangkan pariwisata bahari dan peningkatan taraf hidup nelayan. Karena proyek penambangan tanpa kehatian-hatian dan prosedur AMDAL yang sesuai akan mengakibatkan abrasi laut besar-besaran berupa perubahan arus, perubahan gelombang, kekeruhan air laut, dan rusaknya ekosistem karang sebagai rumah atau habitat organisme dan biota laut lainnya yang mengancam kawasan laut Jepara.

Pada sektor yuridis, Proyek pembangunan Tanggul Laut dan Tol Semarang-Demak merupakan proyek penggabungan antara Tanggul Laut dan Tol Semarang-Demak yang diinisiasi oleh Menteri PUPR. Hal ini berdasarkan pada Peraturan Menteri PUPR Nomor 355/KPTS/M Tanggal 30 Mei 2017 tentang Pengintegrasian Pembangunan Tanggul Laut Kota Semarang dengan Pembangunan Jalan Tol Semarang-Demak. Penggabungan dua proyek strategis nasional tersebut dinilai terlalu dipaksakan, sehingga pemaksaan kesesuaian rencana pembangunan tanggul laut dengan jalan Tol Semarang-Demak bertentangan pengaturan tata ruang yang berpotensi pada kerusakan lingkungan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia di daerah pesisir Jawa Tengah, tepatnya di wilayah Pantai Balong Kabupaten Jepara.  Jika proyek penambangan ini masih nekat untuk direalisasikan, tentu akan sangat menciderai makna dari Pancasila sila ke 5 dan salah satu tujuan negara yang termaktub di dalam Pembukaan UUD NRI 1945 Alinea ke IV, yakni “untuk memajukan kesejahteraan umum”. Begitu pula pada (Pasal 33 Ayat 2 menyebutkan); ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Ini membuktikan bahwa rakyat harus menjadi acuan dan prioritas utama dalam setiap langkah pemerintah memutuskan satu kebijakan. Sehingga makna “Kemakmuran Rakyat” pada ayat tersebut menjadi teraktualisasi terhadap proyek penambangan Pasir Laut di wilayah pesisir laut Balong-Jepara.

Sementara itu, bila dilihat dari sisi sosiologis dampak lingkungan yang akan ditimbulkan akibat aktivitas pengerukan pasir laut di daerah Balong dikhawatirkan pada hilangnya mata pencaharian masyarakat nelayan setempat. Mereka yang menghidupi kehidupan sehari-harinya di kawasan di wilayah Jepara Utara tersebut perlu dikaji lebih seksama untuk menghindari bencana lingkungan yang akan berdampak pada hilangnya ladang usaha msyarakat tersebut. Perbedaan luas pengerukan yang akan dilakukan menjadi poin penting yang perlu diteliti kebenarannya. Karena ini menjadi perdebatan di kalangan pemerhati lingkungan. Menurut data dari Pelaksana proyek ini,  proyek pengerukan akan dilakukan seluas 2.339 hektar, sementara data yang dikemukakan oleh warga setempat, proyek ini akan memakan pasir laut seluas 3.389 hektar. Perangkat AMDAL seharusnya tidak hanya sebatas persyaratan administratif yang harus dipenuhi dalam menjalankan usaha yang berdampak kepada lingkungan namun juga perlunya pengawasan ketat terhadap tanggung jawab perusahaan. Proses AMDAL harus menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan mengenai kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha atau kegiatan yang dibuat. Lebih dari itu, AMDAL seharusnya memberi pula informasi yang jujur dan akurat kepada masyarakat mengenai dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan eksploitasi.

Semua masyarakat Balong, bukan cuma pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat, mereka semua berhak dan mempunyai tanggung jawab menentukan masa depan pantai ini hingga nasib keturunannya mendatang. Seberapa penting tetesan kesejahteraan untuk sebagian orang, dibandingkan bencana lingkungan yang akan ditanggung masyarakat tujuh turunan? Menolak proyek pembanguanan pasir laut Balong menjadi pilihan logis demi kemaslahatan masyarakat Balong sekarang dan masa mendatang. (EHA-AF/LPM BURSA) Desa Balong merupakan salah satu desa yang memiliki ekosistem lingkungan dan pasir laut yang bagus, di samping tempat wisata yang eksotis. Wilayah laut dan daratnya memberikan ribuan berkah kehidupan bagi warganya serupa nelayan, petani, dan mata pencaharian lain karena potensi dan kualitas lingkungannya. Rencana penambangan pasir dalam waktu dekat yang akan dilakukan PT Bumi Tambang Indonesia (BTI) dan PT Energi Alam Lestari (EAL) guna menguruk tanggul pada proyek Tol Demak-Semarang menuai pro kontra di antara kalangan pemerintah daerah dan warga sekitar dengan berbagai dampak positif dan negatifnya.

Sisi positif penambangan pasir di Balong adalah untuk menunjang infrastruktur guna meningkatkan perekonomian bangsa yang diaktualisasikan untuk pembangunan proyek tanggul Tol Laut Semarang-Demak. Namun ada satu garis bawah penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah bahwa Pantai Balong merupakan salah satu destinasi wisata andalan dan sumber mata pencaharian nelayan Jepara yang masih sangat asri dan alami. Ketika proyek penambangan ini dilancarkan sesuai keputusan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat (PUPR), tentunya akan ada kontra produktif dengan salah satu cita-cita Jepara untuk mengembangkan pariwisata bahari dan peningkatan taraf hidup nelayan. Karena proyek penambangan tanpa kehatian-hatian dan prosedur AMDAL yang sesuai akan mengakibatkan abrasi laut besar-besaran berupa perubahan arus, perubahan gelombang, kekeruhan air laut, dan rusaknya ekosistem karang sebagai rumah atau habitat organisme dan biota laut lainnya yang mengancam kawasan laut Jepara.

Pada sektor yuridis, Proyek pembangunan Tanggul Laut dan Tol Semarang-Demak merupakan proyek penggabungan antara Tanggul Laut dan Tol Semarang-Demak yang diinisiasi oleh Menteri PUPR. Hal ini berdasarkan pada Peraturan Menteri PUPR Nomor 355/KPTS/M Tanggal 30 Mei 2017 tentang Pengintegrasian Pembangunan Tanggul Laut Kota Semarang dengan Pembangunan Jalan Tol Semarang-Demak. Penggabungan dua proyek strategis nasional tersebut dinilai terlalu dipaksakan, sehingga pemaksaan kesesuaian rencana pembangunan tanggul laut dengan jalan Tol Semarang-Demak bertentangan pengaturan tata ruang yang berpotensi pada kerusakan lingkungan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia di daerah pesisir Jawa Tengah, tepatnya di wilayah Pantai Balong Kabupaten Jepara.  Jika proyek penambangan ini masih nekat untuk direalisasikan, tentu akan sangat menciderai makna dari Pancasila sila ke 5 dan salah satu tujuan negara yang termaktub di dalam Pembukaan UUD NRI 1945 Alinea ke IV, yakni “untuk memajukan kesejahteraan umum”. Begitu pula pada (Pasal 33 Ayat 2 menyebutkan); ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Ini membuktikan bahwa rakyat harus menjadi acuan dan prioritas utama dalam setiap langkah pemerintah memutuskan satu kebijakan. Sehingga makna “Kemakmuran Rakyat” pada ayat tersebut menjadi teraktualisasi terhadap proyek penambangan Pasir Laut di wilayah pesisir laut Balong-Jepara.

Sementara itu, bila dilihat dari sisi sosiologis dampak lingkungan yang akan ditimbulkan akibat aktivitas pengerukan pasir laut di daerah Balong dikhawatirkan pada hilangnya mata pencaharian masyarakat nelayan setempat. Mereka yang menghidupi kehidupan sehari-harinya di kawasan di wilayah Jepara Utara tersebut perlu dikaji lebih seksama untuk menghindari bencana lingkungan yang akan berdampak pada hilangnya ladang usaha msyarakat tersebut. Perbedaan luas pengerukan yang akan dilakukan menjadi poin penting yang perlu diteliti kebenarannya. Karena ini menjadi perdebatan di kalangan pemerhati lingkungan. Menurut data dari Pelaksana proyek ini,  proyek pengerukan akan dilakukan seluas 2.339 hektar, sementara data yang dikemukakan oleh warga setempat, proyek ini akan memakan pasir laut seluas 3.389 hektar. Perangkat AMDAL seharusnya tidak hanya sebatas persyaratan administratif yang harus dipenuhi dalam menjalankan usaha yang berdampak kepada lingkungan namun juga perlunya pengawasan ketat terhadap tanggung jawab perusahaan. Proses AMDAL harus menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan mengenai kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha atau kegiatan yang dibuat. Lebih dari itu, AMDAL seharusnya memberi pula informasi yang jujur dan akurat kepada masyarakat mengenai dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan eksploitasi.

Semua masyarakat Balong, bukan cuma pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat, mereka semua berhak dan mempunyai tanggung jawab menentukan masa depan pantai ini hingga nasib keturunannya mendatang. Seberapa penting tetesan kesejahteraan untuk sebagian orang, dibandingkan bencana lingkungan yang akan ditanggung masyarakat tujuh turunan? Menolak proyek pembanguanan pasir laut Balong menjadi pilihan logis demi kemaslahatan masyarakat Balong sekarang dan masa mendatang. (EHA-AF/LPM BURSA) 

0 Comments