JURNALISME, JENDELA SAMUDERA ILMU ; Oleh Ali Romdhoni, MA


Semangat manusia dalam mengkaji pengetahuan tidak pernah surut. Dari waktu ke waktu selalu saja lahir ilmuwan yang menyemarakkan dunia intelektual. Mulai dari para filsuf Yunani yang dibanggakan itu, hingga para filsuf muslim yang mengusung pengetahuan profetik. Sampai hari ini pun, aktifitas kajian keilmuan terus diminati para sarjana kontemporer.

Bagaikan mata-air abadi, fenomena alam raya seisinya sebagai materi kajian pun tidak pernah kering. Masa berganti masa, generasi berganti generasi, seiring itu pula wacana dan temuan baru terus bermunculan. Dari setiap majelis diskusi selalu diketemukan tema persoalan baru yang menarik untuk diteliti. Memang demikian, ilmu (pengetahuan) tidak akan pernah habis.

Dengan hitung-hitungan sederhana saja, misalnya, berapa ribu perguruan tinggi di dunia ini yang mensyaratkan para sarjananya untuk menghasilkan temuan atau teori melalui penelitian—sebelum akhirnya mereka dinyatakan layak menyandang predikat sarjana. Ini belum termasuk para peneliti dan pecinta pengetahuan freelance. Mereka semua menghasilkan dan mengabadikan pengetahuan dalam bentuk gagasan dan laporan tertulis.

Penulis kemudian teringat salah satu pesan mulia dalam ajaran agama yang penulis ikuti. Kalau ajaran itu penulis deskripsikan, pemahamannya begini: seandainya air di lautan itu berubah menjadi tinta dan digunakan untuk mengabadikan (mencatat) fenomena yang menggejala di dunia raya, maka tinta itu akan habis sebelum proses penulisan rampung. Bahkan kalaupun air lautan itu dilipat-gandakan, belum juga mencukupi (QS. Al-Kahfi/18: 109).

Dalam konteks pemahaman keagamaan, perihal yang penulis bicarakan di atas merupakan salah satu wujud keagungan Allah. Dia menciptakan semua yang ada di muka bumi ini dengan indah, sebagai perhiasan alam raya. Semuanya tersaji agar manusia memikirkan bagaimana cara mengambil manfa’at dari fenomena, ruang dan bidang di sekitarnya. Dan yang lebih penting lagi, supaya manusia semakin beriman kepada Allah setelah mengamati ciptaan-Nya (cermati, misalnya QS. Al-Ghasyiyah/88: 17-20).

Bila demikian, kegiatan penelitian dan mengabadikan temuan (produk analisis dan penelitian) dalam bentuk penulisan serta penyebarluasannya merupakan minat baik yang dilegitimasi ajaran agama—selain juga merupakan pekerjaan yang mendatangkan kepuasan intelektual bagi pelakunya. Di sinilah jurnalisme (secara sederhana berarti: aktifitas menghimpun, menulis, mengedit dan menyebarkan informasi dan pengetahuan) menemukan momentumnya.

  • Jurnalisme sebagai Konsep Moral

Penulis memaknai jurnalistik sebagai aktifitas menandai (mengamati, menelaah dan mencatat) fenomena yang ada di sekitar dalam keseharian. Apa pun tema dan konten yang ditelaah, selama hal itu membawa dampak positif bagi orang banyak. Di sini, jurnalisme tidak dibatasi dan hanya identik dengan kewartawanan. Lebih dari sekedar itu, jurnalisme merupakan semacam ideologi yang menggerakkan minat seseorang terhadap pengetahuan dan keinginan baik untuk mencerahkan orang-orang di sekitar. Jurnalisme juga penulis maksudkan sebagai dedikasi yang tinggi untuk mengakses pengetahuan, untuk selanjutnya disebarluaskan kepada orang-orang di sekitar.

Dalam pengertian yang demikian, kegiatan jurnalistik bisa dilakukan oleh siapa pun: reporter, sarjana, agamawan, budayawan, ibu rumah tangga, orang biasa dan masyarakat pada umumnya. Berangkat dari pemahaman yang demikian, tidak berlebihan bila dewasa ini memuncul trend jurnalisme warga (citizen journalism), kegiatan partisipasi aktif yang dilakukan oleh masyarakat dalam kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis serta penyampaian informasi dan berita.

Tetapi penulis juga tidak hanya membatasi pada konteks yang itu. Penulis menginginkan jurnalisme sebagai etika atau ajaran yang mengantarkan seseorang kepada kualitas terbaik, dengan terlebih dahulu melalui proses mencintai pengetahuan.

Dengan demikian, jurnalis (jurnalis) tidak selalu identik dengan wartawan (peliput, juru berita, reporter, juru warta). Jurnalis adalah mereka yang memiliki komitmen untuk berbagi pengetahuan kepada sesama dan bersedia dengan suka rela menebar kebaikan di muka bumi. Jurnalisme merupakan ‘konsep moral’ yang melihat aktifitas mengamati, menelaah, merumuskan fenomena dan mengabadikan serta menyebarluaskan pengetahuan sebagai kebaikan.

  • Jurnalis: Penebar Kebaikan
Dalam pandangan filsafat, manusia memiliki kecenderungan untuk mendekat dan menemukan kebenaran (dan kebaikan). Karena itu, untuk menjadi orang mencintai pengetahuan dan bersedia menebar kebaikan di muka bumi bukan hal yang berat, kecuali ada hal-hal yang menyebabkan seseorang demikian. Salah satu yang bisa membantu manusia mengembalikan kepada kondisi awalnya—sebagai mahluk yang mencintai kebaikan—adalah menyadi sebagai ciptaan yang paling mulia, berharga, serta memiliki banyak kelebihan dan keistimewaan dibanding ciptaan lainnya (QS. Al-Thin/95: 4).

Apabila hewan, misalnya, hidup dengan berkeliaran tidak mengenal rumah dengan atap untuk beristirahat, maka manusia memiliki tradisi dan pengetahuan tentang tata-rumah dengan segala kecanggihan di bidang arsitektur. Apabila hewan hidup tidak mengenal pakaian, maka manusia bermasyarakat dengan segala bentuk kesopanan dan kesantunannya, dan di antaranya dengan kesopanan dan keindahan berbusana. Apabila hewan dicipta tanpa akal fikiran, maka manusia dijadikan oleh Tuhan dengan bekal kecerdasan akal dan fikiran.

Karena perbedaan status ini menjadikan tugas dan tanggungjawab manusia juga berbeda dengan mahluk lainnya. Di antara tugas yang sudah dengan jelas dilimpahkan oleh Tuhan kepada manusia adalah keharusan untuk menjaga dan melestarikan tatanan dan keseimbangan alam-bumi (daratan, lautan, dan udara). Ini sesuai dengan keterangan dalam Al-Qur'an, bahwa Tuhan akan memberi hukuman kepada manusia yang sewenang-wenang dan membuat kerusakan dengan bumi (QS. Al-An'am/ 6:165).

Manusia berhak memanfaatkan semaksimal mungkin kekayaan sumber daya alam yang ada di sekelilingnya. Namun dalam waktu yang bersamaan, manusia memiliki kewajiban untuk menjaga dan melindungi alam dari kepunahan.

Akibat kerusakan alam tidak hanya berdampak buruk bagi si pelaku, namun juga menimpa generasi sesudahnya. Artinya, apabila satu generasi manusia melakukan perusakan terhadap alam, maka generasi sesudahnya ikut menderita menanggung akibatnya. Selain itu, tidak semua ekosistem yang dirusak keberadaannya akan bisa dibenahi kembali, seperti gunung yang dikeruk dan biotik lautan yang dirusak dengan semena-mena.

Jurnalisme sebagai konsep moral dalam kondisi tertentu juga bisa mewujud menjadi semacam energi yang menggerakkan kita untuk untuk sensistif dan peduli dengan fenomena alam yang luar biasa, yang terjadi di depan mata kita. Masih segar dalam ingatan kita, bangsa Indonesia, betapa mengerikan gelombang tsunami yang pernah memporak-porandakan alam Aceh delapan tahunan yang lalu; betapa dahsyat gempa tiktonik yang dulu merobohkan rumah dan bangunan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah dan Yogyakarta; betapa hebatnya musibah jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 dengan nomor penerbangan RA36801, yang mengangkut 45 orang penumpang di dekat Cidahu, Gunung Salak, Jawa Barat. Dan yang paling mutakhir adalah banjir yang pernah menenggelamkan sebagian wilayah Ibu Kota Jakarta, beberapa waktu yang lalu.

Peristiwa-peristiwa itu terjadi dengan tanpa ada kekuatan manusia yang bisa menghalangi. Hal paling dekat yang bisa kita lakukan terkait dengan fenomena di atas adalah mencari relasinya dengan perilaku dan pola hidup manusia Indonesia pada umumnya, kita semua. Setelah itu berusaha merumuskan konsep yang bisa dilakukan secara bersama dalam rangka menjaga keharmonisa antara manusia dengan alam di sekitarnya. Yang terpenting, kesediaan kita untuk memulai melakukan konsep yang kita rumuskan sendiri.

Bersemayamnya ilmu pengetahuan pada diri kita hendaknya akan membimbing untuk selalu berada di jalan yang benar, karena sinar terang yang memancar dari ilmu tadi. Karena itu, manusia yang berilmu adalah mereka yang memiliki wawasan dan kedalaman pengetahuan, sekaligus kepedulian terhadap kondisi yang ada di sekelilingnya. Manusia yang menggunakan pengetahuan dan kepintarannya untuk mengeksploitasi alam tentu bukan manusia dalam arti yang ideal.

Khusus dalam konteks ini, penulis prihatin dengan fenomena kecenderungan sebagian insan media di Indonesia akhir-akhir ini, yang mengatasnamakan pekerjaan mereka sebagai pemburu berita, namun di saat yang sama mengabaikan tanggung-jawab mereka sebagai bagian dari masyarakat. Ada saja perusahaan media massa yang tidak menyuguhkan informasi dan pengetahuan yang mencerdaskan publik, namun sebaliknya justru meneror dan membodohkan masyarakat.

Di sini, ada keharusan bagi kita semua, kaum jurnalis: cendekiawan, sarjana, para pendidik, orang tua, dan agamawan untuk menanamkan ajaran yang mulia di atas kepada anak didik dan generasi muda pada umumnya. Karena, merekalah yang nantinya akan mewarisi negeri ini di masa yang akan datang.



*Mateiri ini disampaikan dalam Seminar: “Mentransformasikan Gagasan Melalui Kejurnalistikaan”. Diselenggarakan oleh LPM Bursa Fakultas Syari’ah dan Hukum, Unisnu Jepara, tanggal 8 November 2015. Tulisan ini telah terbit di Koran Amanat (edisi 121 September 2013).
*Ali Romdhoni (ali_romdhoni@yahoo.com), penulis buku dan dosen Universitas Wahid Hasyim Semarang.

0 Comments