Tindakan Represive Guru terhadap Murid Dilihat dari Perspektif Hukum Pidana

 Tindakan Represive Guru terhadap Murid Dilihat dari Perspektif Hukum Pidana, kekerasan anak
Ilustrasi kekerasan anak
LPMBURSA.COM - Jepara, Masa depan yang lebih baik tidak bisa dilepaskan dari sebuah proses kehidupan yakni pendidikan. Pendidikan bagi suatu masyarakat berfungsi sebagai social machine yang bertanggungjawab untuk merekayasa masa depannya. Untuk itu diperlukan seorang pendidik yang bertugas membantu mempersiapkan masyarakat untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat secara luas.

Sebenarnya Masyarakat mendambakan perubahan hidupnya agar menjadi lebih baik. Untuk mewujudkan hal itu salah satunya adalah dengan cara mengenyam pendidikan di Lembaga Pendidikan seperti Sekolah. Para orang tua berbondong-bondong menyekolahkan anaknya dengan tujuan agar nasib anaknya menjadi lebih baik dan mampu untuk menggapai cita-cita yang didambakan oleh orang tua untuk anaknya sampai dengan cita-cita yang memang benar-benar yang didambakan oleh anak tersebut, sehingga mereka mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan.

Sekolah merupakan tempat dimana para murid yang semula tidak mengenal satu dengan yang lain menjadi saling mengenal, dari yang punya teman sedikit menjadi punya teman yang lebih banyak, dari tidak tidak tahu menjadi tahu dan seterusnya. Para orang tua maupun murid-murid mempunyai ekspektasi yang sangat luar biasa terhadap lembaga pendidikan tersebut, sehingga dengan berbagai cara orang tua bahkan sampai dengan Negara pun berusaha agar anak bangsa ini bisa menikmati pendidikan. Bahkan sekarang banyak lembaga pendidikan yang telah bersaing agar mendapatkan anak didik yang banyak dengan berbagai usaha yang digunakan, dari model lembaga pendidikan yang biasa, agamis religius sampai dengan bertaraf internasioal. Semua ditawarkan kepada masyarakat agar mereka tertarik untuk sekolah di lembaga tersebut.

Sekolah/lembaga pendidikan merupakan tempat dimana para guru, kepala sekolah, karyawan sekolah dan murid-murid berkumpul dari berbagai latar belakang yang berbeda, baik secara politik, ekonomi, budaya bahkan sampai dengan agama yang berbeda pula. Selain itu dalam dunia pendidikan orang tua juga tidak bisa dilepaskan kepentigannya sebab dia telah menyerahkan anaknya kepada pihak lembaga tersebut untuk dididik agar menjadi anak yang lebih baik, baik secara IQ (Intelligent Quotient), SQ (Spiritual Quotient)maupun EQ (Emotional Quotient). Berbagai latar belakang anak didik juga berbengaruh dalam tingkah laku mereka, ada anak yang bertipologi pendiam, suka berbicara, kurang sopan dalam berbicara dengan orang lain, pemalu, suka terlambat, sering tidak mengerjakan tugas dan lain sebagainya, sehingga para guru juga harus mencari cara bagaimana agar anak didik-anak didik mereka bisa diatur dengan baik.

Tidak jarang para guru menggunakan berbagai cara agar anak didik bisa diatur, dari memberikan teguran sampai dengan memberikan sangsi, baik sangsi yang ringan sampai dengan sangsi yang represive dengan “tujuan” agar menjadi anak yang lebih baik. Dalam kutipan Pasal 20 Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru serta nilai-nilai agama dan etika. Sedangkan dalam Pasal 6 ayat (1) Kode Etik Guru Indonesia menyatakan bahwa hubungan guru dengan peserta didik : Guru menjalin hubungan dengan peserta didik yang dilandasi rasa kasih sayang dan menghindarkan diri dari tindak kekerasan fisik yang di luar batas kaidah pendidikan.

Sungguh ironi jika kekerasan masih terjadi dalam dunia pendidikan. Dalam berbagai media massa banyak dijumpai kasus kekerasan dalam dunia pendidikan. Berbicara tentang kekerasan dalam dunia pendidikan membutuhkan waktu yang relatif panjang untuk membongkar mengapa dalam dunia pendidikan ada yang namanya “kekerasan”. Yang menjadi subjek kekerasan dalam dunia pendidikan tidak hanya kepala sekolah, guru atau pegawai sekolah, namun murid pun bisa menjadi subjek dalam kekerasan dalam dunia pendidikan. Ketika membicarakan kekerasan dalam dunia pendidikan maka ada sebuah pertanyaan yang sangat mendasar, yaitu mengapa dalam dunia pendidikan harus ada kekerasan? Seolah-olah tempat pendidikan/sekolah yang seharusnya menjadi tempat untuk mencetak kaum intelektual malah menjadi tempat yang cukup “menyeramkan” bagi para pelajar.

Kekerasan di dalam dunia pendidikan bisa saja dilakukan oleh masyarakat yang ada dalam lembaga pendidikan tersebut, bisa dilakukan oleh guru terhadap murid, pengelola sekolah terhadap murid atau murid terhadap murid lainnya. Salah satu faktor mengapa Pemerintah membuat Undang-undang tentang perlindungan anak adalah karena kasus kekerasan terhadap anak yang tak kunjung teratasi. Ketika keamanan untuk anak-anak saja sampai harus diatur dalam undang-undang dan dianggap sangat penting maka kebebasan dan keamanan anak-anak harus dipertanyakan. Artinya kejahatan terhadap anak sudah mulai marak terjadi sehingga harus dibuatkan aturan untuk mengayomi mereka dan hal ini merupakan suatu keadaan yang cukup memprihatinkan.

Dalam undang-undang tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa di lingkungan sekolah, anak /murid wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.

Saat ini lembaga pendidikan masih menjadi sorotan media massa dan publik terkait dengan sering terjadinya kekerasan yang menimpa para peserta didik/murid terutama yang dilakukan oleh “guru”. Sehingga para tenaga pengajar/guru dituntut untuk berhati-hati dalam melakukan pendisiplinan terhadap murid-murid. Guru tidak boleh melakukan “kekerasan” dalam proses belajar mengajar, selain itu guru dituntut untuk mendidik murid-muridnya agar menjadi baik. Di sinilah posisi guru yang cukup dilematis, seolah-olah guru dituntut untuk sangat bersabar dalam mendidik murid-murid yang bertipologi sangat variatif seperti murid yang pendiam, suka berbicara, kurang sopan dalam berbicara dengan orang lain, pemalu, suka terlambat, sering tidak mengerjakan tugas dan lain sebagainya agar tidak melakukan “kekerasan” dalam pembelajaran.

Disinilah tantangan guru agar bisa mengatur emosinya. Namun yang harus kita fahami bersama adalah jangan sampai dengan adanya undang-undang perlindungan anak sehingga posisi guru terendahkan. Apabila guru melakukan tindakan “represive” terhadap salah satu dari muridnya dan orang tua tidak terima maka guru tersebut bisa dilaporkan kepada pihak yang berwajib (Polisi) dengan dalih kekerasan. Nah, posisi inilah yang seharusnya kita perhatikan bersama bahwa posisi guru harus dilindungi pula tidak hanya anak-anak didik agar suatu saat guru tidak hanya menjadi “bulan-bulanan”. Tentu sangat memprihatinkan apabila guru harus selalu menelan pil pahit dalam mendidik murid-muridnya. Bukan maksud untuk melegalkan kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap murid, namun sikap saling memahami, menghargai dan menghormatilah yang harus kita bangun.

Kita akan sedikit merefleksikan apa yang disebut kekerasan dalam pendidikan. Dalam menjalankan profesinya, tidak jarang perilaku atau kebijaksanaan seorang guru dirasakan oleh anak didik atau pihak lain sebagai perbuatan yang tidak menyenangkan, merugikan atau dipandang sangat memberatkan. Perbuatan guru tersebut dapat berupa:

1. Memarahi atau memberi teguran/peringatan keras kepada anak didik.

2. Memberi tugas-tugas yang dirasa berat bagi anak didik (seperti disuruh untuk menulis beberapa kalimat dalam satu buku, menyalin buku, membersihkan ruang kelas, membersihkan kamar kecil dan lain sebagainya)

3. Memberi hukuman seperti menjewer, menyuruh berdiri, memukul dan lain sebagainya.

Apabila kita melihat dari aspek hukum pidana, mungkin saja perbuatan yang dilakukan guru terhadap murid sebagaimana yang telah dicontohkan, secara formil bersifat melawan hukum atau bisa juga merupakan tindak pidana, sebab bisa dikategorikan sebagai bentuk “penghinaan” (pasal 310/315 KUHP), perampasan kemerdekaan (pasal 333-334) perbuatan tidak menyenangkan (pasal 335KUHP) bahkan sebagai bentuk penganiayaan (pasal 351 dan 352 KUHP).

Namun dalam hukum pidana tidak selalu orang yang secara formal (legal formal) telah melakukan tindakan melawan hukum (tindak pidana) harus dipidana. Hal inilah yang harus dipahami semua masyarakat sehingga tidak semua tindakan guru yang bersifat represive terhadap murid merupakan tindak pidana sehingga harus berurusan dengan pihak yang berwajib (kepolisian). Sebab dalam hukum pidana juga dikenal dengan “alasan pembenar” dalam melakukan suatu tindakan. Suatu tindakan yang secara formal merupakan tindak pidana belum tentu secara materiel merupakan bersifat melawan hukum dengan didasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam kehidupan( norma) sosial, norma budaya (culture norm), nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat, tujuan ketertiban hukum, asas-asas hukum umum, hukum yang tidak tertulis yang diakui dalam masyarakat maupun dalam suatu profesi tertentu (termasuk hukum disiplin”tuchrecht” dalam profesi guru) dan bahkan hukum yang tidak tertulis namun diakui dalam bidang keilmuan. Sehingga perkara kecil tidak dibesar-besarkan dengan mengatasnamakan kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh pihak sekolah.

Seharusnya tindakan guru di dalam lembaga pendidikan tidak dapat dipertanggungjawabkan atas timbulnya “kerugian/kerusakan” termasuk dalam kerugian fisik, nonfisik, ekonomi dan non ekonomi yang diakibatkan oleh perbuatan/kelalaian yang dilakukan atas nama sekolah, seperti:

1. Guru melakukan perbuatan tersebut dalam ruang lingkup pekerjaannya (tugas dan tanggungjawabnya)

2. Tindakan guru itu sesuai dengan undang-undang, aturan, atau ketentuan dalam meningkatkan upaya untuk mengawasi, menertibkan/mendisiplinkan, mengeluarkan atau menskors atau untuk memelihara tata tertib di kelas atau di sekolah.

3. Kerugian yang timbul tidak disebabkan perbuatan yang disengaja atau degan maksud jahat (willful or criminal misconduct), kealpaan yang sangat besar, kesembrononan atau pengabaian yang disadari.

Perlindungan profesi Guru harus sesegera mungkin untuk dilakukan sebab tidak menutup kemungkinan guru bisa saja menjadi “objek”. Dalam suatu tatanan masayarakat yang cenderung individualistik yang mengutamakan egosentris bisa saja posisi guru sebagai pengajar yang selalu bersinggungan dengan murid-murid/wali yang bertipologi variatif akan menjadi objek dari orang-orang tertentu. Sehingga profesi guru yang mulia itu tidak akan direndahkan namun tetap dihargai dan dihormati oleh seluruh kalangan. (SHIMA)
Penulis: Muhammad Maghfurir Rohman (Lulusan Fakultas Syari'ah dan Hukum UNISNU Jepara)
*Artikel pernah di muat pada Majalah SHIMA Edisi XIV yang diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa BURSA Fakultas Syari'ah dan Hukum UNISNU Jepara

0 Comments