Reviktimisasi Terhadap Perempuan Korban Kekerasan

 Reviktimisasi Terhadap Perempuan Korban Kekerasan, kekerasan perempuan
Reviktimisasi Terhadap Perempuan Korban Kekerasan (Sumber gambar: www.kalyanamitra.or.id)
LPMBURSA.COM, Jepara - Makna Keadilan bagi korban kekerasan yang dirumuskan melalui suara-suara korban merupakan pendekatan baru dalam perumusan keadilan. Sebelumnya, makna keadilan biasa dirumuskan berdasarkan tradisi, pandangan keluarga atau tokoh masyarakat, teks-teks hukum, maupun teks-teks agama. Tentu saja, pengabaian suara-suara perempuan korban kekerasan dapat menyebabkan rumusan keadilan yang ada justru menimbulkan ketidak adilan baru atau reviktimisasi (perlakuan tidak adil) bagi korban.

Reviktimisasi atau perlakuan tidak adil untuk kedua kalinya terjadi karena beberapa hal. Pertama, perempuan korban kekerasan pada umumnya dalam kondisi pasrah atas apa yang menimpa diri mereka lantaran menganggap keadilan sulit mereka dapat. Kedua, pihak lain (keluarga, masyarakat, dan Negara) kerap mengabaikan pendapat perempuan korban kekerasan dan memutuskan keadilan berdasarkan apa yang terbaik menurut mereka, bukan menurut perempuan korban. Ketiga, pengabaian atas perubahan sosial yang membawa perempuan korban kekerasan dalam kondisi yang berbeda-beda sehingga memerlukan bentuk-bentuk keadilan agama yang juga berbeda. 

Reviktimisasi yang diterima oleh perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga muncul dalam beberapa bentuk. Pertama, menyudutkan perempuan korban kekerasan sebagai pemicu terjadinya kekerasan. Misalnya, menganggap wajar suami yang melakukan kekerasan terhadap anak dan istri yang tidak menuruti perintahnya. Kedua, menyalahkan perempuan korban kekerasan yang berusaha menyelamatkan diri. Misalnya, menyalahkan istri yang lain dari rumah karena tidak tahan atas kekerasan yang dia terima dan menganggapnya telah melakukan pembangkangan (nusyuz). Ketiga, menganggap kekeraan yang diterima oleh perempuan sebagai sesuatu yang wajar. Misalnya, menganggap wajar kekerasan seksual terhadap istri yang memang berkewajiban melayani hasrat suami.

Reviktimisasi yang diterima oleh perempuan sebagai kepala keluarga dapat muncul dalam beberapa bentuk. Pertama, dianggap tidak ada sehingga mereka kerap dianggap sebagai penunjang nafkah keluarga, bahkan ketika mereka menjadi pencari nafkah tunggal. Kedua, pelabelan negatif sebagai istri yang tidak becus, khususnya bagi perempuan yang menjadi kepala keluarga akibat diceraikan oleh suami. Ketiga, pelabelan negatif sebagai perempuan gatal, khususnya bagi perempuan yang menjadi kepala keluarga karena penelantaran suami. Keempat, lebih dilihat sebagai perempuan tanpa suami daripada sebagai ibu yang berjuang keras untuk menghidupi dan menyekolahkan anak-anaknya. 
Artikel Terkait: Kasus KDRT di Jepara Fluktuatif Penyelesaian Aduan Mencapai 100 Persen

Reviktimisasi yang diterima oleh perempuan sebagai TKW dapat muncul dalam beberapa bentuk. Pertama, anggapan bahwa mereka adalah ibu dan istri yang tidak baik karena melalaikan kewajiban, padahal mereka sedang berjuang keras untuk menafkahi keluarga. Kedua, dianggap wajar poligami padahal mereka sama-sama tidak dapat memenuhi kebutuhan seksual sebagaimana suami ditanah air. Ketiga, dihukum ketika hamil akibat perkosaan majikan karena mereka dituduh telah melakukan perzinaan. Keempat, kabur karena tidak ditahan dengan kekerasan dari majikan malah terjerumus ke lembah hitam karena dokumen-dokumen penting ditahan oleh majikan. Kelima, ditertawakan ketika mencari keadilan pada perwakilan pemerintah di luar negeri karena kekerasan ataupun terjebak dalam Negara konflik akibat kesalahan sendiri.

Ajaran agama juga harus mempertimbangkan kondisi spesifikasi perempuan korban kekerasan. Mereka lazimnya berada dalam kondisi “pada umumnya”, sehingga aturan-aturan agama yang diperuntukan bagi “orang pada umumnya” dapat menimbulkan ketidak adilan bagi mereka. Dalam ungkapan lan, perempuan korban kekerasan membutuhkan fikih khusus yang mempertimbangkan kondisi-kondisi khusus mereka. Misalnya, perempuan korban KDRT adalah perempuan yang mendapat kekerasan justru pihak-pihak yang paling bertanggungjawab atas keselamatannya. Demikian halnya dengan perempuan kepala keluarga. Mereka adalah perempuan pencari nafkah keluarga, bukan anggota keluarga yang dinafkahi oleh ayah dan suami. Begitu juga dengan perempuan yang menjadi TKW. Mereka adalah perempuan yang mencari nafkah keluarga hingga ke luar negeri, sebagai pekerja rumah tangga yang daya tawarnya lemah di hadapan majikan, dan seorang diri dalam menghadapi segala kemungkinan buruk yang bisa diterima dari majikannya.

Pemilihan tekanan dalam penyampaian pesan-pesan agama dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan harus dilakukan dengan hati-hati agar ajaran agama tidak justru memperburuk keadaan. Misalnya, dalam masyarakat dimana perempuan kerap menjadi korban kekerasan, maka konsep al-rijal al-shalih (laki-laki yang lebih baik) lebih penting untuk ditekankan atau setidaknya sama pentingnya untuk ditekankan daripada konsep al-mar’ah al-shalihah (perempuan yang baik). Demikian halnya dalam masyarakat dimana banyak perempuan menjadi kepala keluarga, maka penciptaan suasana kerja yang aman bagi perempuan lebih tepat daripada larangan perempuan untuk bekerja. Begitu pula ketika dalam sebuah Negara banyak terdapat keluarga yang hanya bisa memenuhi kebutuhan primer keluarganya dengan mengirim perempuan menjadi TKW. Maka penciptaan sistem kerja yang melindungi perempuan dari jerat perdagangan manusia menjadi lebih penting daripada larangan perempuan menjadi TKW kecuali dengan mahram. 
Artikel Terkait: Perempuan dalam Penegakan HAM

Penjelasan diatas memang lebih banyak mengangkat isu perempuan (dewasa). Hal ini dikarenakan proses penggalian informasi akan lebih mudah dan jelas informasinya, berbeda lagi dengan proses penggalian informasi terhadap anak-anak, maka akan sangat sulit dalam menggali informasi. Hal ini dikarenakan trauma yang mendalam, serta penguasaan mental anak masih sangat lemah, meskipun beberapa informasi dapat kita peroleh dari mereka.

Pada prinsipnya, keadilan agama harus diwujudkan dalam tatanan wacana maupun praktis. Ketika penghayatan agama tidak dapat dilepaskan dari sistem sosial, budaya, ekonomi dan politik yang melingkupinya, maka keadilan agama pun memerlukan perangkat-perangkat sosial, budaya, ekonomi, dan politik dalam perwujudannya.

Pemerintah berkewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat agar secara merata, agar tidak terjadi kesenjangan sosial yang berlebihan, memperbaiki sistem pendidikan yang baik, memberikan edukasi melalui penyuluhan kepada masyarakat secara menyeluruh, baik perkotaan maupun pedesaan. Hal ini penting mengingat tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak justru didominasi di daerah pedesaan. Hal ini dikarenakan rendahnya sumber daya manusia orang pedesaan, sehingga sangat rentan terjadi tindak kriminal, baik yang merugikan diri sendiri maupun masyarakat umum. (SHIMA)
 
Penulis: Muhammad Syaiful Kalim (Sarjana S1 Fakultas Syari'ah dan Hukum UNISNU Jepara)
*Tulisan pernah di muat di Majalah SHIMA edisi XIV yang diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa BURSA Fakultas Syari'ah dan Hukum UNISNU Jepara.

0 Comments