Restitusi Progres Undang-undang Perlindungan Anak

restitusi korban kekerasan terhadap anak dalam uu nomor 35 tahun 2014
Ilustrasi kekerasan terhadap anak
LPMBURSA.COM, Jepara - Upaya perlindungan terhadap anak di Indonesia saat ini telah digarap serius oleh Negara, dengan disahkannya Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 yang merevisi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Hal tersebut merupakan upaya konkret yaitu langkah maju dari Negara dalam melindungi hak asasi setiap anak di Indonesia.

Ada beberapa hal yang menjadi kajian tambahan dalam undang-undang tersebut, yaitu dengan menambahkan klausal-klausal point tentang pelindungan anak korban kejahatan seksual, anak korban pornografi, anak korban HIV/AIDS, anak korban jaringan terorisme, anak dengan perilaku sosial menyimpang, serta anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait kondisi orang tuanya. (lihat pada pasal 59 ayat 2 UU No 35 Thn 2014)

UU Perlindungan Anak menjadi instrument hukum yang kuat dalam perlindungan anak. Selain itu, memungkinkan adanya kerjasama dengan pihak internasional dalam perlindungan anak. UU tentang Perlindungan Anak hasil revisi dibangun menjadi payung hukum yang bersifat lex specialis. 
Baca juga: Upaya Perlindungan Hukum bagi Anak sebagai Korban Kekerasan Seksual

Kekerasan terhadap anak merupakan tindak pidana berat yang harus diperhatikan oleh Negara. Bukan hanya mengkaji sanksi berat yang dijatuhkan kepada pelaku melainkan juga perlindungan terhadap korban kekerasan. Karena seringkali korban kekerasan baik itu secara fisik ataupun secara psikologi mengalami dampak yang signifikan dalam jiwanya baik lahir ataupun batin. Korban biasanya mengalami penderitaan psikologi yang berkelanjutan, ada yang mengalami memar-memar bahkan korban kekerasan seksual biasanya harus mengalami penderitaan ganda karena selain harus menanggung psikologi juga menanggung resiko kehamilan.

Lantas sejauh mana Negara mengatur perlindungan terhadap korban kekerasan? Sudah adakah undang-undang yang mengatur tentang ganti rugi terhadap korban kekerasan? Hal tersebutlah yang harus dijelaskan untuk melindung korban kekerasan. Dalam undang-undang terbaru tentang perlindungan Anak (baca: UU Nomor 35 tahu 2014) mengatur tentang adanya restitusi terhadap korban kekerasan. 
Baca juga: Analisa Dispensasi Kawin Menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Pasal 71D ayat 1:

“Setiap Anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf d, huruf f, huruf h, huruf i, dan huruf j berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan.”

Pasal 71D ayat 2:

“Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online Restitusi dapat diartikan sebagai: ganti kerugian; pembayaran kembali. Dalam Pasal tersebut dapat di tafsirkan restitusi yaitu pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. Selain Korban Kekerasan seksual, anak yang dihasilkan yang menjadi dampak kekerasan seksual juga berhak mendapatkan restitusi menurut UU tersebut.

Restitusi bagi Korban Kekerasan seakan menjadi sebuah angin segar tersendiri dalam proses perlindungan anak di Indonesia. Undang-undang nomor 35 tahun 2014 memberikan saksi yang tegas bagi pelaku tindak kekerasan selain harus mengalami humuman penjara. Ia juga harus mengganti rugi terhadap korban kekerasan. Namun, ada sebuah permasalahan ketika pelakunya adalah masyarakat yang tidak punya lantas bagaimana dengan restitusi yang harus dibayarkan pelaku. Bila pelaku tidak mampu membayar restitusi, hal tersebut tidak akan berakibat hukum dan berdampak terhadap pelaku.

Menyoal hal tersebut semestinya Negara harus siap dalam segi peraturan yang mendukung untuk menciptakan sebuah perlindungan yang totalitas bagi korban kekerasan. Selain itu peran daerah sangatlah vital dalam mengantisipasi serta mempulihkan korban kekerasan anak seperti yang diamanatkan dalam Pasal 45B

“(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan Orang Tua wajib melindungi Anak dari perbuatan yang mengganggu kesehatan dan tumbuh kembang Anak.” (SHIMA)
 
Penulis: Muwasaun Niam
*Artikel pernah di muat dalam majalah SHIMA edisi XIV yang diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa BURSA Fakultas Syari'ah dan Hukum UNISNU Jepara


0 Comments