CONSIENTIZACO-RELIGIOUS; Kritisisme Keberagamaan Kritis


CONSIENTIZACO-RELIGIOUS; Kritisisme Keberagamaan Kritis, keberagaman
Kritisisme Keberagamaan Kritis
Oleh : Cholis Hauqola*


Agama, sebagai suatu sistim norma mempunyai kekuatan pengikat sekaligus kekuatan pembebas. Daya pengikat maupun pembebas ini semakin jelas ketika diterjemahkan oleh elit agama yang dianggap orang yang dekat dengan sumber agama (Tuhan) dan mempunyai kekuatan urai yang melampaui umat kebanyakan. Konsekuensi teologisnya ajaran agama dilaksanakan menurut standar pemahaman dan pemikiran elit agama yang bagaimanapun tidak bisa lepas dari pengaruh integritas personal, ruang dan waktu, serta iklim sosial yang melingkupinya.

Di sisi lain, umat yang awam mem(di)posisikan eksistensinya sebagai pengikut setia dalam bingkai asketisme yang absolute. Mereka berkesadaran bahwa kualitas hidupnya bergantung pada tingkat kesesuaian dengan apa yang dimaksudkan elit agamanya. (Dalam kondisi ini mereka berada dalam kesadaran magis). Kesetiaan ini bernilai sakral dan primordial sehingga dalam praktiknya terkadang ditemukan kekaburan kepada siapa ketaatan itu sebenarnya ditujukan; kepada sumber agama (tuhan) ataukah kepada pemegang otoritas makna agama (elit)? Pada tahap dan kasus tertentu bahkan ditemukan ketaatan awam terhadap elit secara total tanpa reserve. (Dalam situasi ini umat berada dalam kesadaran naïf). Masyarakat menjadi objek yang diatur dan diarahkan menuju "komunitas imajiner" yang diidealkan elit agama.

Melihat fenomena di atas dapat ditemukan persoalan ; mengapa umat beragama berada dalam kesadaran naïf dan magis? Mungkinkah memunculkan kesadaran kritis dalam menjalankan praktik keagamaannya? Jika mungkin bagaimana cara mengupayakannya? Kuranglebihnya persoalan itulah yang menjadi basis gagasan tulisan ini.


Kontekstualitas agama
Dalam Islam, praktik agama (yang kemudian disebut keberagamaan) bertendensi pada visi agama untuk menciptakan kesejahteraan universal dan kompleks (rahmatan lil alamin). Jika praktik keberagamaan hanya berbasis pada ketaataan absolute tanpa ada upaya memahami konteks di mana, kapan, atas dasar apa dan untuk apa teks agama ditujukan, maka agama akan kehilangan élan vitalnya sebagai penebar rahmat. Agama akan dipandang sebagai ilusi dari pada solusi.

Dalam keberagamaan terdapat serangkaian pengetahuan yang terstruktur menjadi suatu ajaran. Pengetahuan (knowledge) -termasuk di dalamnya pengetahuan agama- sebagai produk akal pikiran manusia (ijtihad al-nas) selalu menyatu dengan ruang, waktu, subjek, objek dan konteks tertentu. Dengan kata lain, pengetahuan agama yang didasarkan pada pemahaman wahyu selalu berdialektika dengan zamannya dari waktu ke waktu. Tetapi dalam keagamaan, pengetahuan agama sering menjelma menjadi wahyu itu sendiri yang pada ahirnya menjadi tak terbantah dan tersentuh dari upaya mempertanyakannya. Tidak menutup kemungkinan Kondisi ini bahkan terkontaminasi oleh hal-hal yang bersifat provan, duniawi dan sesa'at. Nah, pada tahap inilah umat terpojokkan dalam kesadaran naïf (naival consciousnes) dan bahkan kesadaran magis (magical consciousnes) yang menjadikannya tercebur dalam kubangan "taqlid buta". Ahirnya, tanpa adanya kesadaran kritis (critical consciousness) umat terbelenggu oleh pusara agamanya sendiri.

Paulo Freire, mengkampanyekan satu istilah provokatif, "consientizaco", untuk megentaskan masyarakat yang terjebak dalam kesadaran naïf / magis menuju kesadaran kritis. Consientizaco adalah upaya penyadaran atau pencerahan nalar masyarakat agar dapat membaca realitas dunia dan lingkungannya untuk kemudian dapat bertindak yang terbaik untuk diri dan lingkungannya. Dalam pandangannya, potensi akal pikiran memungkinkan masyarakat menjadi subjek bukan objek. Kaitannya dengan agama, Islam menganjurkan penggunaan akal pikiran untuk menemukan kesejahteraan, duniawi ataupun ukhrowi.

Di sisi lain Muhammad Arkoun menyarankan upaya pembongkaran terhadap bangunan pengetahuan melalui archeology of knowladge. Pengetahuan, sebagai produk pemikiran manusia, diposisikan sebagai situs sejarah yang kemunculannya tidak terlepas dari indikator kesejarahan. Agar dapat menemukan makna asalnya maka diperlukan upaya kritis-dialektis antara teks dan konteks, untuk kemudian diterapkan dalam konteks kekinian.

Tulisan ini sengaja menyuarakan Consientizaco-religious sebagai perpaduan teori sosial dan agama dalam satu entitas gagasan yang berdaya dorong menuju keberagamaan progresif. Consientizaco-religious adalah upaya penyadaran dan pencerahan umat berbasis kritisisme dalam menjalankan agamanya. Dalam ranah keberagamaan setiap bahasa keagamaan (teks) diniscayakan berada dalam konteks tertentu. Teks dan konteks selalu berdialektika dalam membentuk makna. Sehingga dalam upaya penafsiran (hermeneutic) senantiasa memperhatikan dan memperhitungkan keduanya sebagai suatu entitas yang tak terpisahkan. Upaya memahami teks dari konteksnya inilah yang disebut kontekstualisasi yang kemudian menjadi landasan metodologis prinsip consientizaco.

Dalam sejarah pemikiran keberagamaan Islam, consientizaco sebenarnya telah diupayakan sejak awal periode keislaman yang dilanjutkan hingga pemikir Islam kontemporer. Ijtihad Umar ibn Khottob, konsep Maslahah Mursalah Anas ibn Malik, konsep Istihsan Abu Hanifah, metode Qiyas Imam Syafi'i, Islam Kiri (Yasar al- Islam) Hasan Hanafi, Kritik Nalar Islam (Naqd Tafkir Al-Islam) Muhammad arkoun, Kritik Wacana Agama (Naqd Tafkir Al-Diniyah) Nasr Hamid Abu Zayd, Teologi Pembebasan (Liberatif Theology) Asghor Ali Enginer, Postradisionalisme-Islam M. abid jabiri, Teologi Transformatif-nya Moeslim Abdurrahman, Islam Kosmopolitan-nya KH. Abdurrahman Wahid, Islam Madani-nya Atho'illah Shohibul Hikam, hingga Islam Liberal-nya Ulil Abshor Abdalla, adalah serangkaian bukti adanya consientizaco dalam praktik keagamaan. Dari sekian panjang upaya dekonstruksi dan rekonstruksi keberagamaan yang mereka lakukan, terdapat kata kunci sebagai pembukanya; 'paradigma kritis'.


Dunia kritis
Istilah paradigma kritis memang muncul dari polemik pemikiran ilmuwan barat. Tokoh pertama kali yang memperkenalkan 'kritisisme' adalah Immanuel Kant yang berusaha keras melawan positifisme Auguste Comte dan rasionalisme Rane Descartes. Bagi Comte dan Cartes kebenaran hanya dilihat dari sudut pandang indrawi dan logis yang bebas nilai, terlepas dari konteks. Kant berusaha menggulingkan pemikiran ini dengan meyakinkan bahwa sesuatu menjadi 'ada' karena pengaruh faktor di luar sesuatu itu, yang kemudian menurutnya disebut sebagai konteks. Konteks bisa berupa materi ataupun non materi, sebagaimana 'ada' yang mewujud dalam fenomena. Upaya Kant ini kemudian dilanjut oleh Freidric Hegel dengan konsep 'dialektika' yang mengandaikan adanya tesis, antitesis dan sintesis. Upaya kritis ini diperlengkap oleh 'paradigma konflik' Karl Marx yang menekankan pada "strategi melawan" terhadap nalar mapan. Meskipun dalam filsafat dialektika antara Hegel dan Marx terdapat pertentangan mendasar tentang alam ide dan alam materi, tetapi persinggungan gagasan antara keduanya mampu menjadi inspirasi munculnya mazhab Frankfurt (Frankfurt Schule) yang memproklamasikan 'paradigma kritis'.

Max Hokheimer, Theodor Adorno dan Herbert Marcuse adalah ikon dari mazhab Fankfurt yang berjihad merumuskan paradigma kritis ini. Selanjutnya, tatanan paradigma kritis Frankfurt dimonumenkan oleh Jurgen Hubermas dalam sebuah 'teoiri kritis' yang lengkap dengan tatanan kritik immanent dan kritik transcendent. Kelahiran dahsyat teori kritis inipun semakin menjadi matang ketika Jacques Derrida menyumbangkan pisau bedah, "dekonstruksi", yang tak kalah tajamnya untuk menguak kejumudan yang (di)mapan(kan). Ahirnya, teori kritis-dekonstruktif diharapkan mampu menembus kebuntuan dominasi, hegemoni dan kooptasi rezim "penguasa".

Sejarah panjang pemikiran barat di atas kemudian menjadi "wahyu pergerakan" pemikiran para intelektual muslim kontemporer pro-consientizaco-religious menuju kesadaran kritis umat Islam. Hampir di seluruh belahan dunia pasca abad pertengahan, Islam diwarnai dinamika pemikiran yang sarat progresifitas. Akan tetapi, consientizaco-religious ternyata tak berjalan di atas rel kereta yang lurus. Pertentangan dunia ide-gagasan harus dibayangi pertentangan dunia materi (fisik) yang merisaukan. Adonis, dalam karya investigasinya " Arkheologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam", lebih memandang persinggungan antara pemikir pro-kemapanan (al-tsabit) dan penggagas perubahan (al-mutahawil) dalam Islam tidak berjalan secara dialektik, tetapi kontradiktif. Pemikir pro-kemapanan senantiasa menjadi the winner dalam peminggiran pihak penggagas pembaharuan.

Pencekalan oleh Menteri Agama Maftuh Basyuni dan Majlis Ulama' Indonesia terhadap Nasr Hamid abu zayd untuk datang pada International Conference di Malang dan Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) di UIN Riau, dan fatwa hukuman mati terhadap Ulil Abshor Abdalla oleh kelompok fundamentalis Islam adalah bukti nyata adanya tantangan dalam proses consientizaco-religius di Indonesia. Sejarah selalu mencatat bahwa setiap pemikiran selalu membawa implikasi sosial-politik yang dalam batas-batas tertentu melampaui kemampuan sang pemikir itu sendiri. Maa Syaa'a Allah.

*Cholis Hauqola, Dosen UNISNU Jepara

0 Comments