MENAKAR “PRAKTIK” ASWAJA (YANG KATANYA) BERBASIS ASWAJA


aswaja, arti aswaja, kata aswaja, pengertian aswaja, Ahlul Sunnah wal-Jama'ah
Aswaja

Setiap muslim bahkan seluruh golongan umat Islam di seluruh lapisan jagat raya ini bisa dikatakan selalu dan saling klaim diri dan golongan masing-masing adalah yang layak masuk dalam kelompok Aswaja, mereka “memperebutkan” status ajaran yang mereka lakukan dan mereka anut merupakan ajaran yang sesuai dengan prinsip dan konsep Aswaja. Benarkah demikian? Memang tidak mengherankan jika mereka saling berebut predikat tersebut karena hanya Aswaja-lah satu diantara golongan umat Islam yang telah dijamin oleh sang baginda untuk layak masuk surga di akhirat nanti.

Kata Aswaja ditinjau dari segi bahasa terdiri dari tiga kata, al-Ahlu, al-Sunnah, dan al-Jama’ah. Kata al-Ahlu diartikan sebagai keluarga, komunitas, atau pengikut. Kata al-Sunnah diartikan sebagai jalan atau karakter. Sedangkan kata al-Jamaah diartikan sebagai perkumpulan. Arti al-Sunnah secara istilah adalah segala sesuatu yang diajarkan Rasulullah SAW. baik berupa ucapan, tindakan, maupun ketetapan. Sedangkan Al-Jamaah bermakna sesuatu yang telah disepakati komunitas sahabat Nabi pada masa Rasulullah SAW. dan pada era pemerintahan Khulafah Al-Rasyidin (Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib). Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah sebuah komunitas orang-orang yang selalu berpedoman kepada sunnah Nabi Muhammad SAW. dan jalan para sahabat beliau, baik dilihat dari aspek akidah, agama, amal-amal lahiriyah, atau akhlak hati.

Kata al-Jama’ah juga mengandung beberapa pengertian, yaitu: kaum ulama atau kelompok intelektual; golongan yang terkumpul dalam suatu pemerintahan yang dipimpin oleh seorang amir; golongan yang di dalamnya terkumpul orang-orang yang memiliki integritas moral atau akhlak, ketaatan dan keimanan yang kuat; golongan mayoritas kaum muslimin; dan sekelompok sahabat Nabi Muhammad SAW.

Menurut Muhammad Khalifah al-Tamimy, Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah para sahabat, tabiin, tabiit tabi’in dan siapa saja yang berjalan menurut pendirian imam-imam yang memberi petunjuk dan orang-orang yang mengikutinya dari seluruh umat semuanya.

Aswaja mengandung banyak pengertian jika dikupas dari segala sisi, tidak hanya sebatas pada definisi-definisi yang diutarakan oleh para ulama yang masyhur kredibilitasnya. Tentang Aswaja, sebagian orang awam memaknainya dengan orang yang ahli dalam menjalankan sunnah serta membiasakan diri dengan jamaah. Penerjemahan ini sebenarnya simpel tetapi esensinya justru lebih mengena jika diamati dari karakteristik ahli surga. Karena memang banyak sekali teks-teks hadits yang memaparkan tentang pentingnya amaliah ini. Ironisnya, banyak sekali dijumpai mereka yang memegang teguh implementasi 5 prinsip Aswaja yakni tawasut, tasamuh, tawazun, i’tidal, dan amar ma’rufnahi munkar tetapi mengabaikan kebiasaan-kebiasaan nabi dan para sahabatnya dalam menambah kualitas ubudiyahnya (baca; sunnah). Ini justru melanggar prinsip tawazun sebagai dasar aswaja yang mereka dengungkan. Mereka tidak menyeimbangkan jalinan hablun minallah dan hablun minannas dalam keseharian.

Terlepas dari semua definisi-definisi diatas, sebenarnya Aswaja lebih menitikberatkan pada aspek aktualisasi dari esensi yang terkandung dalam term aswaja-isme. Tanpa memakai “label” sebagai golongan Aswajapun sebenarnya setiap orang berpeluang bertengger di surga kelak jika dalam praktik kesehariannya ia selalu memegang teguh ajaran-ajaran Nabi dan para sahabatnya. Redaksi hadits yang berbunyi “maa ana ‘alaihi wa ashabiy” bukanlah sebuah identitas formal masuk surga. Tetapi gambaran tentang karakteristik calon ahli surga dengan ketentuannya sebagai penganut ajaran nabi dan sahabatnya baik dalam rangka beribadah, bermu’amalah, berpolitik dan sebagainya.

Terkadang kita jumpai ketimpangan-ketimpangan dalam ber-Aswaja, mereka yang memproklamirkan diri sebagai orang yang paling sesuai dengan konsep Aswaja tetapi jika dicermati hanya sebagian aspek yang mereka pilih dengan tidak memperhitungkan aspek yang lain. Nabi dan para sahabat tidaklah mengajarkan perihal ubudiyah semata, melainkan juga sebagai uswah dalam bersosial kemasyarakatan, beliau-beliau sangat memperhitungkan sosio-kultural bahkan sangat toleran terhadap penganut agama dan keyakinan selain Islam. Piagam Madinah adalah bukti nyata bagaimana nabi bertoleransi terhadap non muslim dengan kode etik yang telah disepakati bersama. Seharusnya konsep aswaja ini dipraktikkan secara utuh oleh tiap muslim baik dalam ubudiyah, mu’amalah maupun siyasah. Terkadang juga kita jumpai diantara mereka yang hanya mengikuti aspek ubudiyah tetapi mengabaikan aspek mu’amalah dan siyasah, begitu juga dijumpai sebaliknya.

Sumber Bacaan:
Badrun Alarna, NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000
FKI LIM, Gerbang Pesantren, Pengantar Memahami Ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah Kediri: Litbang Lembaga Ittihadul Muballigin PP. Lirboyo, 2010
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta: Rajawali Press, 2010

Ditulis oleh : Nur Faizin


0 Comments