The Power Of Mind

Manusia adalah makhluk yang diciptakan paling sempurna oleh Allah SWT. Kesempurnaaan tersebut dimantapkan Allah dalam firman_Nya.

 لقد خلقنا ا لانسا ن فى ا حسن تقويم

Dan memang tidak dipungkiri, kesempurnaan manusia tersebut dapat dibuktikan dan dapat dipandang dari berbagai aspek. Aspek fisik yang secara fisiologis dapat direspon dan dinilai serta dirasakan oleh panca indra. Dan juga aspek non fisik yang secara morfologis juga bisa diamati dan direspon oleh kemampuan hati. Terlebih lagi, ada satu keistimewaan yang diberikan Allah pada makhluk yang bernama manusia, yaitu akal.

Menurut hemat penulis, akal itulah yang menjadi alasan mengapa Allah memilih manusia sebagai pengelola (kholifah) bumi yang begitu luas. Allah berfirman dalam surat Al Baqoroh ayat 30 :

 وإذ قال ربّك للملائكة إنّي جاعل في الأرض خليفة. قالوا اتجعل فيها من يسفد فيها ويسفك الدمأ ونحن نسبّح بحمدك ونقدّس لك. قال إنّي اعلم ما لا تعلمون

Dengan akal budinya, manusia dapat mengolah bahan menjadi produk. Merubah peradaban yang dulunya gelap menjadi terang, yang semula sepi menjadi ramai, dan semula susah menjadi mudah. Dan semua itu tak dapat dilakukan oleh jenis makhluk apapun kecuali manusia. Bahkan malaikat sekalipun yang sejatinya adalah makhluk suci dan tak ternoda, tak sanggup menandingi kekuatan akal manusia dan mengakui bahwa manusialah yang pantas menduduki jabatan sebagai kholifah dibumi.

Namun kadang kala, masih banyak manusia yang akalnya tertidur dan tak pernah sadar akan dahsyatnya kekuatan akal. Maka dalam hal ini mungkin memang perlu merujuk pada pemikiran plato yang berusaha mendefinisikan apa itu filsuf. Dalam istilah plato seorang filsuf (ahli filsafat) adalah orang yang sadar (terjaga) dan membuka pandangannya terhadap segala hal yang ada di alam eksistensi (kenyataan) sekaligus berusaha memahaminya. Sementara orang lain menghabiskan hidupnya dalam keadaan tertidur. Oleh karna itu, pada hakikatnya setiap manusia adalah filosof. Setiap manusia harus berfilsafat dalam rangka melakukan aktifitas berpikir agar tidak selalu tertidur dan tertinggal dari komunitas makhluk yang lain.

Dari situ bisa disimpulkan bahwa manusia harus menggunakan akal sehatnya dalam rangka menjalankan fitrahnya. Sebab akal adalah satu–satunya ciri khas manusia yang membedakan ia dari makhluk–makhluk yang lain. Bukankah Al Quran juga memerintahkan manusia untuk selalu berfikir, menganalisa dan menerjemahkan apapun yang ada disekitarnya. Bukankah banyak redaksi Al Quran yang antaraa lain berbunyi

"أفلا تعقلون,  أفلاتتفكّرون,  لعلّكم تتفكّرون,  لعلّكم تعقلون,  أفلاتتدبرون
"

Selanjutnya,  bisa diamati dan dianalisa pemikiran Rene Descartes, seorang filsuf prancis yang hidup sekitar tahun 1596–1650. Dengan menggunakan akal budinya, ia mencoba untuk menguak rahasia–rahasia ilmu. Bahkan ia berusaha membuktikan bahwa Allah benar – benar ada dengan menggunakan rasionya. Salah satu langkah berfikir yang ia gunakan bahwa Allah ada adalah dengan analisis sebagai berikut:

a)    Pada dasarnya, manusia memiliki keraguan terhadap sesuatu. Karena keraguan itulah yang membuktikan manusia adalah bersifat kurang dan terbatas.

b)    Terkadang manusia tidak akan menyadari kekurangan yang ada pada dirinya jika ia memiliki ide dan dugaan tentang “kesempurnaan” dan ide tentang “wujud yang betul-betul sempurna,”

c)    Tak mungkin ide tentang “kesempurnaan” mampu diwujudkan manusia dalam dirinya, karena dirinya adalah wujud yang bersifat kurang dan sesuatu yang kurang tidak bisa menjadi sumber dari sesuatu yang sempurna.

d)    Jadi, ide tentang kesempurnaan diletakkan dalam jiwa kita oleh suatu wujud yang sungguh sempurna, yaitu Allah.

Dengan pemikiran tentang kekurangan tersebut, Descartes seolah – olah dapat menemukan Dzat yang maha sempurna, yakni Allah SWT. Dan pisau analisis yang tajam seperti itu tidak lain adalah akal yang bekerja. Dari situlah, Discartes memiliki sebuah semboyan yang bahkan menjadi prinsip hidupnya yaitu “Cagito Ergo Sum” (aku berfikir maka aku ada).

Kita tentu mengenal Thomas Alfa Edison, penemu lampu pijar yang dengan jasanya, dunia kita tidak lagi gelap. Dan hasil temuannya itu juga berangkat dari imajinasi yang tidak lain adalah kerja dari  pada akal.

Dahulu, dunia sangat meyakini bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi. Teori tersebut dikenal dengan “Theory Geosentris”. Akan tetapi, datanglah seorang ilmuwan Roawi yang bernama Galileo Galilei yang merusak teori tersebut dengan daya imajinasinya. Ia seakan ragu dan gelisah jika bumilah yang menjadi pusat tata surya yang dikelilingi oleh matahari. Sehingga ia berusaha untuk membongkar kesalahan teori tersebut. Lalu akhirnya ia berhasil membuktikan bahwa bukan bumi yang menjadi pusat tata surya, melainkan matahari yang selalu dikelilingi bumi. Dan teori barunya tersebut disebut dengan “Theory Heliosentris”. Namun, bukan berarti teori Heliosentris Galileo adalah sebuah harga mati yang tidak bisa dibongkar. Sebab, kita sebagai manusia juga bisa saja dan tidak mustahil akan menemukan teori baru yang bisa merubah peradaban dunia. Selanjutnya, Allah SWT menegaskan dalam firmannya surat Ali Imron, ayat 190–191 yang artinya :

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda–tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal yaitu orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) “ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia–sia. Maha suci Engkau, lindungilah kami dari adzab Neraka.”

Ayat diatas membuktikan bahwa akal adalah senjata utama dan pertama sebagai sarana untuk mempertahankan eksistensi. Bahkan dalam memngingat Allah pun dibutuhkan kesadaan penuh untuknya. Artinya, orang yang hidup dalam keadaan tertidur (mati akalnya) tak akan mampu mengingat Allah dan segala bentuk kekuasaan-Nya. Tanpa akal manusia akan tenggelam dalam keputusasaan. Tak mampu hidup optimis dan tak mampu menatap masa depan dengan semangat. Dan sekali lagi, bahwa akal adalah yang menjadi ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk–makhluk lainnya. Meminjam bahasa Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H., M.Ss., LL., M. “Tidak sebagaimana benda–benda tidak bernyawa dan makhluk hidup lainnya, manusia dengan menggunakan nalarnya mampu mendapatkan apa yang ia dambakan.”

Bangsri, 30 Mei 2013
Iga Kurniawan
“Santri Darut Ta’lim dan GMP Fiqih SMK I Kholiliyah” 

0 Comments