Polemik Fakultas Syari’ah

Tulisan Syari'ah dalam salah satu refrensi buku
Membicarakan Fakultas Syari’ah tentunya tidak cukup selesai satu atau dua kali. Terkait mahasiswa dan problema-nya menjadi pembicaraan bagi para pemikir yang kritis akan arti mahasiswa dan hakekatnya. Berubahnya Institut menjadi Universitas banyak sekali perubahan-perubahan, baik yang menguntungkan dan merugikan pihak tertentu. Hal ini tentunya tak luput pula berimbas pada Fakultas Syari’ah dan Hukum baik secara administrasi maupun yang lain. Berbalik dari itu, Fakultas Syari’ah sudah delapan belas kali lebih meluluskan sarjana-sarjana hukum islam. Artinya, Fakultas Syari’ah sudah cukup tua untuk membicarakan kualitas mahasiswa-nya.

Fakta yang ada dalam Fakultas Syari’ah dan Hukum (sekarang) masih banyak kekurangan-kekurangan yang harus dibenahi. Dimana kekurangan ini menjadi bagian tangung jawab mahasiswa khususnya yang berkecimpung dalam organisasi. Akan tetapi pandangan ini tidak menyudutkan bagi mahasiwa yang berorganisasi. Sudah menjadi sebuah kewajiban bagi penghuni Fakultas Syari’ah untuk ikut andil secara penuh maupun tidak, terkait dengan kemajuan fakultas.

Dengan keadaan yang minim fasilitas, tentu kita yang menjadi bagiannya turut prihatin. Dikatakan minim, dapat kita lihat melalui fasilitas yang ada. Hal ini tentunya tidak sesuai apa yang menjadi Visi fakultas Syari’ah dan Hukum yang berbunyi “ Mencetak tenaga ahli hukum islam sunni yang memiliki kemampuan intelektual, professional dan integritas keilmuan dibidang hukum islam yang mapan”. Bila kita coba menafsirkan secara umum fakultas Syari’ah dan Hukum sudah banyak sekali mencetak kader hukum yang mempunyai intelektual tinggi yang sudah mapan. Akan tetapi, pada faktanya hal ini masih sangat jauh sekali dengan Visi yang ada. Alumni fakultas Syari’ah sendiri jarang yang bersentuhan dengan hukum, mereka lebih condong profesi sebagai guru, baik MI, MTs, MA. Secara nilai, memang tidak salah dan semua baik, tetapi ada sedikit keganjilan tentunya dimana proses perkuliahan mengenyam hukum, yang harapannya menjadi tenaga ahli hukum. Dalam realitasnya tidak terwujud menjadi tenaga ahli hukum. Artinya,Visi ini belum mampu mewujudkan esensi Visi itu sendiri. Butuh beberapa puluh tahun untuk bisa dan bersaing dengan kampus-kampus lain.

Ada dua kemungkinan yang kurang tepat dengan asumsi diatas. Pertama, bukan masalah fasilitas yang menjadikan mahasiswa faham hukum ataupun menjadi tenaga ahli hukum. Ada kemungkinan pula mahasiswa-nya yang tidak begitu minat dengan hukum. Dengan berbagai sebab tentunya hal ini bisa terjadi, faktor orang tua, ikut dengan temannya, sehingga masuk dalam fakultas Syari’ah. Kedua, kurang adanya upaya dari pihak fakultas untuk bagaimana mahasiswa Syari’ah cakap dalam hukum. Namun asumsi ini cukup melebar tafsirannya, karena mahasiswa yang memang harus sadar tujuan dalam perkuliahan bukan sebaliknya. Tetapi doktrinasi perlu dilakukan agar pasang surut semangat proses perkuliahan tidak terjadi. Dan imbas kedepannya, apa yang menjadi Visi Fakultas besar kemungkinan akan terwujud walaupun tidak seluruhnya.

Hemat penulis, yang dimaksudkan dengan fasilitas adalah sebuah fasilitas yang sesuai dengan prodi perkuliahan. Kita berbicara hukum tetapi tidak pernah mempraktekkan persidangan, advokasi dan kegiatan teknis yang berbau hukum. Dalam perkuliahan hanya teori-teori basi, dimana saat teknis aplikasi ilmu hukum dilapangan dapat berubah.

Dalam hal ini, perlu kita renungi bersama terkait Fakultas Syari’ah mengalami kemajuan atau kemunduran. Sebagai bagian dari fakultas Syari’ah sudah selayaknya ikut berperan memajukan Fakultas Syari’ah melalui organisasi-organisasi yang ada, Bem Fs, Bursa, Lajnah Falakiyah. Disisi lain memiliki harapan, apa yang sudah menjadi fasilitas wajib mahasiswa hukum harus ada, demi memperjelas kelamin pasca S1. (red)

0 Comments