Berpakaian (ala) UNISNU


Setelah proses akreditasi berhasil menggabungkan tiga kampus menjadi nama baru yaitu UNISNU, kemudian berlanjut muncul problem baru terkait masalah penyatuan visi-misi, kebijakan, peraturan dan lain-lain yang sebelumnya ketiga kampus itu tentu memiliki kultur yang saling berbeda antara yang satu dengan yang lainya. Dalam masa transisi hal itu memang menjadi rumit karena untuk menyinergikan perbedaan-perbedaan itu segalanya perlu dikaji ulang. Oleh karena itu, maka hal itu menjadi tugas bersama semua elemen kampus tak terkecuali mahasiswa. Sebab adakalanya suatu kebijakan/peraturan layak tetap dipertahankan dan adakalanya harus dihapuskan dan diganti yang baru. Semisal peraturan berbusana santun yang dulu hanya berlaku di INISNU, peraturan ini perlu dikaji ulang. Apakah harus tetap dipertahankan untuk UNISNU atau dihapuskan ?

Terkait peraturan berbusana santun, tanpa ada maksud mengunggulkan salah satu dari ketiga kampus sebelum UNISNU. Siapapun yang dahulu pernah maemasuki salah satu area kampus INISNU/STIENU/STTDNU, kiranya akan faham benar  dengan sambutan pertama berbentuk spanduk besar yang tertempel di dinding pintu masuk gerbang kampus INISNU. Spanduk yang bergambar dan bertuliskan peraturan berbusana santun bagi mahasiswa/i tersebut seharusnya masih layak untuk UNISNU, sebab itulah yang akan menjadi kesan pertama yang menunjukan identitas bahwa UNISNU merupakan salah satu Perguruan Tinggi Islam.

Terlebih dari itu, UNISNU yang notabene bagian dari lembaga pendidikan yang mengatas-namakan NU merupakan bagian kecil pencerminan masyarakat NU khususnya di Jepara. UNISNU membawa nama baik NU.  Jadi, ketika mahasiswa/i UNISNU mampu melaksanakan dan menaati peraturan tersebut dengan sepenuhnya bahkan membudayakanya, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat NU khususnya di Jepara terutama yang generasi muda juga memiliki budaya sopan santun yang baik khususnya dalam berbusana.
Peraturan berbusana santun bukanlah aturan khusus yang seharusnya diberlakukan di UNISNU Jepara. Sesungguhnya telah banyak Perguruan Tinggi Islam yang telah memberlakukan aturan ini lebih dahulu sebelumnya mengingat banyak manfaat yang terkandung dalam hal pembatasan berpakaian ini.
Ada berbagai alasan yang mendasari pemberlakuan peraturan ini. Akan tetapi yang paling mendasar yang melatarbelakanginya adalah adanya manfaat ditinjau dari sudut pandang mahasiswa/i. Apalagi bagi perempuan yang mana pakaian selain sebagai penutup aurat, namun juga berfungsi sebagai benteng yang menjaga dari pandangan-pandangan mata nakal sehingga hal itu dapat meminimalkan keinginan bertindak jahat kepadanya. Sebab disadari atau tidak, selama ini terdapat banyak tindak kejahatan yang diterima oleh perempuan khususnya asusila dilatarbelakangi oleh faktor gaya busana yang dikenakan perempuan itu sendiri.

Oleh karena itu, alangkah lebih baik jika peraturan berbusana santun yang dulunya pernah berlaku di INISNU itu dihidupkan kembali hingga menyeluruh di UNISNU dengan mempertimbangkan manfaat yang telah disebutkan. Meskipun di UNISNU tidak semua mahasiswa beragama Islam, tapi kiranya hal itu tidak menjadi masalah karena berpakaian santun tidaklah merugikan bagi siapapun termasuk non muslim bahkan justru dapat menjadi benteng.

Tidak cukup sampai di situ, tentunya dalam setiap peraturan, juga harus ada konskuensi sanksi bilamana terjadi pelanggaran sehingga selain eksistensi peraturan berbusana santun dapat terjaga dan terlaksana, namun adanya sanksi juga sebagai bentuk ketegasan dari peraturan ini, semisal di STAIN Puwokerto yang melarang si pelanggar untuk mengikuti forum-forum formal perkuliahan, tidak dilayani dalam masalah administrasi dan lain sebagaianya. (RS/Achmad)

0 Comments