Melihat Kembali Substansi Reformasi - Resensi

Melihat Kembali Substansi Reformasi - Resensi
“Melihat Kembali Substansi Reformasi”
Judul         : Reformasi Antara Harapan dan Realita”
Penulis     : Sulastomo
Penerbit     : Kompas Media Nusantara
Tebal         : xii + 268 hlm.; 14 cm x 21 cm
ISBN         : 979-709-093-0
Terbit         : 2003
Desain sampul
dan ilustrasi    : Rianto
Peresensi    : Niswatus Shalihah,
Mahasiswa Fak. Syari’ah Semester IV

Buku yang membahas tentang reformasi ini, akan membicarakan tentang seluk-beluk Indonesia dari berbagai aspek yang dimulai dari perubahan UUD 1945, demokratisasi, lembaga kepresidenan, TNI dan Polri juga pembahasan tentang globalisasi. Pembahasan ini juga merupakan titik awal bagi kita sebagai bangsa rakyat Indonesia untuk mulai membenahi bangsa ini, bangsa yang selama ini menjadi musuh dalam selimut. Bangsa yang selama ini menginginkan kemakmuran, kesejahteraan tapi terhalang oleh penguasa–penguasa yang dengan tanpa sadar atau tidak mulai meruntuhkan negerinya sendiri.

Menurut Sulastomo dalam buku ini, -penegakan hukum- demokratisasi belum berjalan sebagaimana yang kita harapkan. Bahkan kecenderungan untuk lebih mengedepankan kepentingan golongan semakin menonjol. Memang ada hal–hal yang telah berubah, kebebasan menyuarakan pendapat sudah kita nikmati. Bahkan secara berlebihan, cenderung tanpa batas. Tanda–tanda pemulihan ekonomi juga sudah mulai nampak, meskipun sangat lambat dibanding negara–negara berkembang lainnya. Namun sampai akhir tahun 2002, pendapatan perkapita kita belum pulih kembali, dibanding pada tahun 1997.

Indonesia adalah salah satu Negara yang mempunyai potensi untuk menjadi Negara besar. Aspek jumlah penduduk, luas wilayah, kekayaan sumber daya alam, kebhinekaan agama, etnis dan kultur, memberi peluang untuk itu. Tetapi perjalanan bangsa ini ibarat mendaki sebuah gunung yang terjal. Bahaya selalu mengancam. Tidak saja diperlukan sikap yang penuh hati–hati, tetapi juga kesabaran, kebijakan atau wisdom. Begitulah gambaran Indonesia menjelang tahun 2002, sampai saat kita memasuki tahun ke-66 sebagai Negara yang merdeka.

Kenyataan-kenyataan itu tentu mengecewakan. Bahkan, sebagian masyarakat telah menilai reformasi telah gagal, mati muda dan diperlukan reformasi jilid II. Sebagian masyarakat lain bahkan telah meneriakkan “Revolusi Sosial”. Hal ini menunjukkan keadaan sebenarnya yang semakin memprihatinkan.
Berbicara tentang demokrasi, maka kita akan mengibaratkan sebuah gelombang yang dahsyat, di dalam kurun waktu sepuluh tahun terahir menjelang abad ke-21, demokrasi telah menelan banyak korban terutama di Negara-negara yang dulu dikenal sebagai Negara otoriter atau kurang demokratis. Negara-negara yang dulu dikenal sebagai Negara sosialis, pecah berkeping-keping karena derasnya gelombang demokratisasi.
Dalam buku ini, Sulastomo mengemukakan ada 2 hal yang barangkali menjadi sebab utama gelombang demokratisasi. Pertama, adalah esensi dari demokratisasi itu sendiri dan kedua, adalah perkembangan teknologi informasi. Keduanya itu menyatu dan menjadi kekuatan yang amat dahsyat, yang tidak mungkin dihindari oleh Negara manapun di dunia. Hanya dengan jalan demokrasi, kita dapat menbangun masyarakat yang damai, hubungan internasional yang serasi akan mampu memberi landasan yang kuat bagi perdamaian dunia.

Dalam buku ini, Sulastomo juga membahas tentang substansi dari reformasi itu sendiri, agar cita-cita reformasi dapat ditempatkan kembali pada jalur yang semestinya. Substansi pertama, dari cita-cita reformasi adalah keinginan membangun kehidupan politik yang demokratis. Kita telah melaksanakan perubahan penyelenggaraan Negara yang amat mendasar, misalnya terbitnya UU nomor 22 dan 25 tahun 1999 tentang otonomi daerah, pembentukan daerah istimewa atau otonomi khusus dan lainnya. Upaya terakhir adalah perubahan UUD 1945, dimana pengakuan terhadap hak asasi manusia (HAM) lebih dirinci lagi. Substansi kedua, upaya menyejahterakan rakyat; seperti yang dikutip Sulastomo dalam tulisannya “Kita Perlu Belajar dari Malaysia” (Kompas, 23/5/2002) adalah keliru jika kita menyalahkan dunia swasta paska krisis.

Substansi ketiga adalah pemerintahan yang bersih. Good Governance, insyaallah akan mengantar bangsa ini pada sebuah pemerintahan yang amanah, bebas KKN dan mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Gerakan reformasi agaknya harus dapat melakukan “oto-kritik”. Tidak berlebih, bila kita harus memulai dari nol kembali. Harus memulai dari perumusan substansi dan tidak terpukau dengan kepentingan jangka pendek yang merupakan manifestasi kepentingan politik praktis sesaat. Reformasi akan sangat berarti, bila kita mampu membangun sistem berbangsa dan bernegara di segala bidang, baik politik, ekonomi dan sosial budaya. Reformasi yang mendasar, agaknya masih jauh. Sebab ternyata kita manusia biasa, yang sering sulit melepaskan diri dari kepentingan pribadi, golongan atau kepentingan lainnya.[S]

0 Comments