Kririk Terhadap Paradigma Positivisme Hukum

Kririk Terhadap Paradigma Positivisme Hukum
Kririk Terhadap Paradigma Positivisme Hukum
Judul         : Paradigma Positivisme Hukum Perdata
Penulis     : Sulastomo
Penerbit     : Kompas Media Nusantara
Tebal         : xii + 268 hlm.; 14 cm x 21 cm
ISBN         : 979-709-093-0
Terbit         : 2011
Desain sampul
dan ilustrasi    : Rianto
Peresensi    : Joko Syah Putra,
Mahasiswa Fak. Syari’ah Semester IV

Dalam Paradigma Positivisme Undang-undang sebagai sesuatu yang memuat hukum secara lengkap sehingga tugas hakim tinggal menerapkan ketentuan undang-undang secara mekanis dan linier untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat, sesuai bunyi Undang-Undang. Namun, Paradigma Positivisme Hukum Klasik yang menempatkan hakim sebagai tawanan undang-undang, tidak memberikan kesempatan pada pengadilan untuk menjadi suatu institusi yang dapat mendorong perkembangan masyarakat.

Paradigma Positivistik, menekankan kepada hakim pada uniformitas, khususnya dalam hal penafsiran “monolitik” terhadap makna norma-norma itu sendiri. Biasanya hakim mengandalkan penafsiran gramatikal, bahkan cenderung tekstual secara leksikal.

Ajaran Positivisme Hukum menempatkan hakim hanya sebagai corong undang-undang, tidak memberi ruang untuk hakim sebagai subyek yang kreatif. Sejak permulaan krisis hingga sekarang, pendekatan yang dilakukan para hakim masih menggunakan cara konvensional, padahal keadaan dan kualitas masyarakat sudah berubah.

Hukum, oleh ajaran Positivisme Hukum, digambarkan sebagai wilayah yang steril, terpisah dari moral. Doktrin kelsenian, bahkan menampik keberadaan ilmu hukum yang terkontaminasi anasir-anasir sosiologis, politis, historis, dan sebagainya.

Pengaruh sistem hukum Belanda yang berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, membuat lapisan atas bangsa Indonesia terbiasa dengan system hukum tertulis dan terkodifikasi. Dalam masyarakat yang majemuk untuk memberikan rasa keadilan, hakim tidak cukup sebagai corong undang-undang, melainkan harus membuka matanya lebar-lebar dan memasang telinganya untuk mendengar denyut jantung masyarakat sebelum menjatuhkan keputusan. Ajaran Positivisme Hukum memberi pemahaman kepada hakim bahwa hukum semata-mata hanya berurusan dengan norma-norma.

Pemurnian Hukum dari Analisir-analisir Hukum

Para penganut Positivisme Hukum berasumsi bahwa teori hukum yang tidak memusatkan pada hukum positif, tidak dapat dikaji secara akademis di Fakultas Hukum. Mata kuliyah Sosiologi Hukum, Filsafat Hukum, Antropologi Hukum, dan seterusnya dianggap bukan “murni” ilmu hukum.
Dalam pemurnian hukum dari analisir-analisir non-hukum, Positivisme Hukum menuntut pemisahan “is” dan “ought”. Namun pemisahan hukum dari “is” dan “ought” secara radikal, di samping menjauhkan hukum dari pencarian keadilan, juga menimbulkan perselisihan secara permanen antara Hukum Normatif Murni dan Hukum Empiris di Indonesia.

“Is” dan “ought” memang berbeda dan perlu dibedakan, tetapi keduanya tidak terpisah sama sekali. Kekhasan hukum adalah karakternya yang normatif (ought/sollen) bagi kita untuk melakukan suatu sikap tertentu. Meskipun benar bahwa norma berhubungan dengan dunia, tetapi ia (norma) akhirnya berpijak dan bekerja pada basis sosialnya, yakni masyarakat. Sehingga, hukum tidak normatif (sollen) semata, dan juga tidak empiris (is/sein) belaka. Pada akhirnya obsesi pemurnian Positivisme Hukum menjadi absurd dan tidak mungkin.

Upaya pemurnian hukum dari analisir-analisir non-hukum adalah klaim yang tidak mungkin. Karena ketika melakukan pemurnian – semurni apapun – tetap terkontaminasi kepentingan subyektif (manusia) yang berupaya melakukan “pemurnian” itu sendiri.

Meragukan Positivisme Hukum
Kalau kedudukan hukum sebagai obyek hukum, maka ia harus diandaikan tidak akan pernah mengalami stagnasi. Namun di Indonesia fakultas-fakultas hukum memperlakukan Ilimu Hukum dan Metodologi Hukum layaknya ideology dan bahkan seperti “agama”. Kita diajarkan menerima hukum “apa adanya”, tidak diajak untuk mempertanyakannya apalagi meragukannya.

Titik terkuat Positivisme Hukum adalah kepastian hukum. Hukum sepenuhnya dapat diprediksi, dijelaskan dan dikontrol berdasarkan hukum-hukum determenestik yang pasti sehingga setara dengan kepastian matematis. Kepastian hukum telah menjadi ideology dalam kehidupan berhukum. Karena kepastian hukum diandaikan sebagai tujuan akhir, maka tugas hukum menjadi selesai apabila menemukan kepastian hukum.
Karaguan dalam kepastian hukum sangat jelas. Bahwa kepastian hukum bukan suatu yang historis dan bebas nilai, melainkan hasil kontruksi manusia. Kontruksi manusia tidak terlepas dari proses-proses psikologi dan politis. Itu artinya bahwa kepastian hukum tidak lebih dari sebuah reifikasi.

Ilusi Obyektivisme
Pendapat kaum Positivis yang beranggapan Hukum yang hndak mengusir anasir-anasir subyektif untuk mendapat obyetifitas, tidak lain merupakan kepentingan itu sendiri atau subyektifitas lain yang tersenbunyi dan “tidak diaku” oleh subyek. Klaim kebenaran obyektif menjadi absurd.

Hukum tidak dapat diobyektifikasi karena kita manusia berada di dalamnya dan menjadi bagiannya – mengandung implikasi teoritis – bahwa Positivisme Hukum dengan ajaran obyektivitas-nya adalah suatu yang tidak mungkin diterapkam dalam hukum secara totalitas.
Yuridis-normatif adalah sebuah klaim yang sosiologis-psikologis pula (karena didasarkan pada perspektif pendidikan, orientasi seks, gender, kelas social, ideology dari sang penafsir) tetapi yang “tidak diakui” oleh penafsir irtu sendiri.

Penafsiran murni dan skripturalistik (monotafsir) menerapkan apa  yang tertulis secara mentah-mentah, maka teks-teks hukum yang hanya dibaca kata-katanya tidak menjamin kualitas putusan hakim yang adil. Rumusan hukum yang bersifat umum dan diterapkan secara kaku terhadap kejadian di masyarakat yang notabene bersifat unik, beresiko terjadinya penyeragaman yang ujungnya adalah menjauhkan hukum dari keadilan. Sebagaimana karakternya yang normative, hukum dimulai dari norma, tetapi norma peraturan itu tidak langsung diterapkan begitu saja.

Kebenaran dalam Perspektif Ilmu Hukum
Menempatkan hukum pada kebenaran intersubyektif membawa pada pemahaman yang berbeda-beda karena intersubyektifitas menekankan pada perbincangan diskursus dan persetujuan yang cukup sebagai sesuatu yang sangat penting dalam memutuskan sesuatu. Setiap yuris yang berupaya untuk menemukan sesuatu suatu jawaban terhadap masalah yuridis akan mencari jawaban lewat penafsiran berdasarkan argument-argumen yang tepat, relevan, dan paling dapat diterima.

Teks adalah produk pikiran (subyektif) yang diobyetifikasi. Ketika dihadapkan dengan teks, hakim harus memahami, menafsirkan, bercakap-cakap atau berdialog dengan teks hukum. Ketepatan dan relevansi argument selalu berhubungan dengan konteks, atau bersifat kontekstual, sehingga ia selalu dinamis.
Jika hukum diasumsikan identik dengan keadilan, maka mengandung konskuensi pencarian keadilan diluar hukum akan dihentikan karena pencarian keadilan hanya bersumber pad hukum, bahkan lebih sempit lagi: undang-undang.

Hukum tidak dapat bias dipebandingkan (apalagi diperselisihkan) karena hukum adalah alat, sarana, atau media untuk mendekati keadilan. Sarana dan tujuan adalah tidak sederajat. Hukum tidak melampaui keadilan, karena begitu diandaikan, maka alat telah mengkoloni tujuannya.
Keadilan adalah konsep yang jauh melampaui hukum sehingga tidak bisa sepenuhnya dipastikan dalam rumusan hukum. Keadilan tanpa batas, dalam arti ia tidak dapat dibatasi dalam definisi tertentu, atau reduksi pada hukum tertentu, atau derivasi pada suatu yang dianggap pantas.

0 Comments