Perempuan Dalam penegakan HAM

Perempuan Dalam penegakan HAM


Budaya menjadi faktor yang menyebabkan adanya ketimpangan pola hubungan dan peran sosial antara laki-laki dan perempuan. Lapisan yang tidak terasa telah kita ciptakan sendiri dan tanpa kita sadari telah membuat adanya ketimpangan sosial.

Perbedaan peran atau gender yang berkembang dimasyarakat menjadi salah satu yang mengakibatkan ketimpangan kaum perempuan terjadi. Konsep budaya yang melekat pada masyarakat diantaranya prilaku, mentalitas, dan karakter emosional antara laki-laki dan perempuan. Masyarakat mengangap konsep budaya yang telah dianggap sebagai suatu yang kodrati, hal tersebut dapat kita lihat melalui angapan umum, misalkan perempuan identik dengan urusan rumah tangga atau konco winggkeng dalam keluarga, sedangkan laki-laki identik dengan pengelola dan tangung jawab urusan ekonomi. Angapan semacam ini adalah hasil dari budaya manusia dari kurun tertentu, bukan suatu yang bersifat alamiah yang tidak bisa diubah.

Ketimpangan ini jertadi karena adanya aturan tradisi, dan hubungan timbal balik yang menentukan batas antara feminitas dan maskulinitas sehingga mengakibatkan pembagian lahan, peran, dan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki. Dalam kehidupan sosial dapat kita lihat, berkembang angapan bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan karena laki-laki dianggap lebih cerdas, kuat, dan tidak emosiaonal.

Pandangan tersebut telah mempersempit ruang gerak perempuan. Peran perempuan menjadi sanggat terbatas pada urusan domestik (rumah tangga), sedangkan laki-laki dengan leluasa mengambil peran disektor-sektor publik. Bahkan pada titik tertentu pandangan negatif (stereotipe) terhadap eksistensi perempuan. Penindasan dan ekploitasi perempuan dapat dicontohkan pada kasus-kasus pemecatan perempuan dari kerjanya karena hamil, pengupahan yang lebih rendah dari laki-laki, pelecehan seksual diluar maupun didalam lembaga pernikahan, menjadikan perempuan sebagai objek seks dalam industri wisata.

Sejarah perjuangan

Ketidak adilan gender yang berkepanjangan telah membangunkan kesadaran perempuan untuk melakukan perlawanan yang kemudian melahirkan gerakan feminisme. Walaupun pada abad sebelumnya sudah muncul gerakan feminisme yaitu di timur tengah dengan adanya agama Islam. secara umum gerakan perempuan dimulai pada abad ke-18, dimana revolusi Perancis meruntuhkan aristokrasi dan memunculkan anti feodalisme.

Pada abad ini gagasan feminisme berkata bahwa perempuan memiliki potensi nalar yang sama dengan laki-laki atas pendidikan, pekerjaan, dan property. Namun pada abad ini gerakan perempuan masih didominasi oleh rasionalitas dan otoritas tradisional.

Pada akhir abad 18 mulailah berkembang tidak hanya menyangkut persoalan domestik. Para feminis menyuarakan tuntutan agar perempuan juga berperan diranah publik. Gerakan-gerakan perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya dalam sektor publik belum menghasilkan hasil yang mengembirakan setidaknya sebagai contoh, di Amerika sampai tahun 1920 perempuan tetap tidak memeiliki hak politiknya, kondisi ini kemudian diperparah dengan adanya revolusi industri pada abad-19 yang semakin menyingkirkan dan mengekploitasi perempuan akibad proses urbanisasi yang masif dan proses diferensiasi kelas sosial.

Kesadaran kaum perempuan untuk memberontak melawan diskriminasi tidak hanya dibarat. Sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia muncul beberapa tokoh perempuan ada yang terjun didunia politik dan bahu membahu dengan kaum laki-laki untuk ikut terjun melawan penjajah.
Pada masa pra-kemerdekaan , banyak berdiri organisasi-organisasi perempuan yang berbasisi kedaerahan, etnis, atau ikatan primordial lainya.

Organisasi tersebut diantaranya “ Putri Mardika” dijakarta (1912), “ Aisyah “ (1917), “ Wanita Soesilo” di pamalang (1918), organisasi Kewanitaan Sarekat Islam yang didirikan oleh Siti Fatimah (1918) yang kemudian berfusi dengan “ Wanoedya Oetomo “ di pemalang (1918), menjadi “ Sarekat Perempuan Islam Indonesia “ , “ Sarekat Kaum Ibu” Soematra (1920).

Dengan mengunakan media komunikasi lainya, mereka berani mengankat isu-isu yang tidak saja semata berkaitan dengan hak-hak perempuan yang selama ini dikebiri, tetapi juga masalah sosial kemasyarakatan lainya secara umum.

Lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Perempuan (DUHAM) pada tahun 1948 memberiakn harapan baru bagi perempuan karena deklarasi ini menjamin hak asasi manusia baik laki-laki maupun perempuan. Pada dasarnya DUHAM merupakan perangkat ampuh bagi penegakan HAM seluruh umat manusia tanpa mermbedakan jenis kelamin. Namun menurut sebagian kalangan pembela hak-hak perempuan, DUHAM belum cukup memadai sebagai  jaminan pelaksanaan hak-hak perempuan karena ia tidak mampu berperspektif gender. Menurut mereka  DUHAM tidak mampu menyelesaikan kasus-kasus seperti pemerkosaan dimasa konflik bersenjata, kekerasan rumah tangga , diskriminasi pekerjaan, dan sebagainya.

Tantangan dan strategi perjuangan penengakan HAM  dalam perspektif gender

Sejarah perjuangan kaum perempuan dalam melawan ketidak adilan gender mempunyai hambatan di semua level, baik pemerintah maupun masyarakat itu sndiri dilain sisi penegakan kesetaraan gender membutuhkan political will dari pemerintah dalam membuka ruang kritik dan memberi kesempatan dan kepercayaan kepada perempuan untuk mengaktualisasikan diri sekaligus mengapresiasi pembangunan. Hambatan political will muncul dikarenakan pemerintah yang otoriter dan represif, berbeda dengan pemerintahan yang demokratis membuka keran kebebasan dan partisipasi publik seluas-luasnya tanpa membedakan jenis kelamin.

Jatuhnya orde baru memberikan kesempatan yang lebih menjanjikan kepada perempuan untuk memperbaiki kondisinya. Bagaimanapun, political will janganlah hanya berupa lips service belaka. Seluruh kebijakan harus maksimal melibatkan kaum perempuan dalam semua aspek pembangunan. Selain itu, pemberdayaan perempuan dalam pembangunan tetap harus mengindahkan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan. Gender juga harus diintegrasikan dalam seluruh kebijakan dan program berbagai organisasi dan lembaga pendidikan.

Disisi lain perjuangan menghapuskan diskriminasi sekaligus memberdayakan perempuan juga menghadapi tantangan yang bersifat horizontal, datang dari budaya masyarakat yang menghegemoni nalar, tidak saja kaum laki-laki tetapi bahkan kalangan  perempuan itu sendiri. Populasi perempuan sangat besar di negeri ini, akan tetapi sangat sedikit perempuan yang benar-benar sadar bahwa hak-hak mereka dikebiri dan posisi mereka secara sosial tersubordinasi.

Pemikiran dan penafsiran keagamaan yang patriarki sangat berkontribusi besar terhadap konstruksi sosial yang mendeskriditkan perempuan. Disamping itu, ajaran agama yang mengenai gender perlu dikaji kembali untuk menemukan makna keadilan sebenarnya yang telah hilang atau mungkin disembunyikan. Artinya, ayat-ayat Al-qur’an dan fiqih perlu direinterprestasikan (diartikan) dengan menggunakan prespektif keadilan gender.

Hak-Hak Perempuan Dalam Islam

Banyak para ulama’ lebih condong bahkan hingga sekarang untuk memelihara tradisi-tradisi feudal dari pada menegakkan perintah-perintah Al-qur’an. Prasangka buruk mereka terhadap perempuan begitu kuat, hingga mereka lebih menerima beberapa hadist (tradisi Nabi) yang penafsiran-nya lebih digunakan dari pada perintah-perintah Al-qur’an yang jelas dan pasti.

Laki-laki atas perempuan merupakan superioritas yang salah. Laki-laki dan perempuan berasal dari jenis yang sama. Sebagai manusia, tidak boleh ada superioritas apapun dari yang satu terhadap yang lain. Tetapi ada perbedaan yang spesifik yakni secara biologis dan dalam tugas-tugas mereka serta cara-cara berkeadaban.

Klaim superioritas, hal tersebut didasarkan pada premis yang salah, yakni laki-laki itu menjadi penguasa dan perempuan itu dikuasai mereka mengklaim mempunyai hak yang sama atas perempuan sebagaimana atas harta kekayaan. Yang lebih baik adalah laki-laki berusaha memberikan alasan yang rasional terhadap klaim superioritas mereka dan menganggapnya berasal dari tuhan.

Mumtaz Ali menjelaskan bahwa semua laki-laki tidak setara dengan laki-laki lain. Tetapi sebagai jenis manusia tidak ada perbedaan antara mereka, ada benarnya juga bahwa beberapa laki-laki itu lebih superior atas laki-laki yang lain, dan beberapa perempuan lebih superior dari pada perempuan yang lain, dan ada laki-laki yang baik dari beberapa perempuan, begitu pula dengan perempuan. Akan tetapi ini faktor insidental seseorang tidak bisa membuktikan superioritas keseluruhan kelompok dengan pertimbangan sedikit anggota dari kelompok tersebut.

Dalam argumentasi teologis, bukti terbesar kaum laki-laki mengutip superioritasnya dalam al-Qur'an yaitu QS. An-Nisa’ (4:43), yang mengatakan : “ laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan, dengan apa yang telah Allah berikan bagian mereka atas sebagian yang lain dan dengan apa yang telah mereka nafkahkan sebagian dari harta mereka.” Beberapa orang menerjemahkan “qawwam” dengan penguasa, yakni laki-laki adalah penguasa kaum perempuan. Terjemahan yang demikian menunjukkan kesalahan dari maksud ayat tersebut. Mengutip dari seorang alim yang terkemuka, Syeh waliyullah, yang menerjemahkan dengan “tadbir-e-kar kunindah”, yakni mengatur kegiatan. Kemudian beliau memberikan argumentasinya secara penjang lebar arti, “Allah telah membuat kelebihan beberapa diantara mereka atas yang lain.” Dan menyimpulkan bahwa ini juga tidak membuktikan superioritas laki-laki atas perempuan.

Kemudian beliau mendiskusikan arti kata qawwam yang merupakan kata kunci ayat diatas. Beliau mengatakan bahwa qawwam adalah kepanjangan dari kata qiyam, yang berarti orang yang harus lebih banyak beradadi luar rumah untuk bekerja dan mencari nafkah kehidupan. Dalam pengertian inilah bahwa laki-laki gawwam bagi perempuan. Beliau membuat suatu argumentasi yang menarik bahwa dari pada membuktikan superioritas laki-laki atas perempuan, ayat ini membuktikan bahwa laki-laki harus bekerja untuk kehidupan yang menyenangkan bagi perempuan. Dengan demikian, laki-laki itu dalam posisi melayani perempuan.

Maulvi Mumtaz Ali membahas alasan teologis, bahwa laki-laki itu superior karena kesaksian dua perempuan, bahwa laki-laki itu mendapatkan dua kali lipat dari perempuan dalam soal warisan. Hal ini juga tidak membuktikan superioritas yang orisinil dan naural atas perempuan. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, diantaranya perempuan telah diisolasi dalam situasi sedemikian rupa, dimana mereka tidak mempunyai pendidikan yang cukup atau pengalaman keduniawian.

Jika perempuan seperti itu disuruh untuk memberikan kesaksian mungkin mereka melakukan kesalahan atau bahkan melakukan kesalahan besar, ada ayat Alqur’an yang berbicara tentang kesaksian seorang perempuan yang keabsahannya setengah tersebut adalah tentang mengambil suatu pinjaman dan dalam masalah-masalah keuangan, akuntansi, dan membuat dokumen.

Perempuan pada masa itu, tidak mempunyai kompetensi, dan oleh karena itu mereka tidak ingat masalah-masalah seperti itu, sebagaimana yang dimiliki oleh kaum laki-laki dan karena alasan inilah dua perempuan untuk memberikan kesaksian mengganti yang satu, sehingga jika suatu orang lupa yang lain dapat mengingatkan.

Ketika Al-qur’an sendiri, demikian Mumtaz Ali berpendapat. Tidak memberikan alasan bahwa kesaksian perempuan itu setengah, karena dia itu interior secara alami dan ciptaan. Lalu siapa para ahli hukum dan ulama’ yang melakukan seperti itu? Perintah Alqur’an dalam hal ini adalah pilihan dan bukan pemaksaan atau diwajibkan.

Ada yang menarik dari argumentasi ini, bahwa semua masalah-masalah pada abad ke-19, dikatakan pula secara bersama oleh pembela modern hak-hak perempuan sekarang ini dan seratus tahun kemudian. Akan tetapi pada satu alasan yang menarik yang sejauh ini tidak digunakn oleh pembela hak-hak perempuanmaupun beliau mengatakan bahwa dua perempuan diharuskan untuk suatu kesaksian karena sering  kali perempuan itu cacat oleh kondisi fisiknya (periode menstruasi atau hamil yang lama atau melahirkan), perempuan yang lain dapat bersaksi mengganti dirinya. Hanya perempuanlah yang menikmati keistimewaan seperti itu bukan laki-laki. Oleh karena itu, ayat ini membuktikan superioritas perempuan dari pada statusnya yang rendah.

Refrensi
Asqhar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, LKIS Yogyakarta, 2003.
A.Ubedillah dan abdul Rozak, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, ICC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006
Asqhar Ali Engineer, Hak Perempuan Dalam Islam, Yogyakarta, Benteng, 1994.
Anshari Thayib, HAM dan Pluralisme Agama, Surabaya, Pusat Kajian Strategis dan Kebijakan, 1997.
Wawancara Eklusif Bersama Alumni Aktifis Gender Jepara, Mayadina Rahma Musfiroh. MA.

0 Comments