MUSLIMAH ALA INISNU


Dipandang dari fitrah, keberadaan wanita sebagai insan yang harus mendapatkan perlindungan lebih. Sebab lemahnya kondisi wanita cenderung dimanfaatkan oleh keadaan, kita lihat dikampus kita semua mahasiswi wajib mengenakan pakaian muslimah yaitu dengan mengenakan jilbab. Apa itu yang dinamakan jilbab? Kata “jilbab” jamaknya “jalabi”  yaitu pakaian yang menutup tubuh sejak dari kepala sampai kaki, atau menutup sebagian besar tubuh, dan dipakai diluar seperti baju hujan. Jilbab mempunyai beberapa syarat tertentu, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Albani dalam bukunya “Hijabul Muslimah fi Kitabi was Sunnah” yang salah satunya adalah: Lapang dan tidak sempit. Karena pakaian yang sempit dapat memperlihatkan bentuk tubuh sebagian atau seluruhnya. Jilbab harus memenuhi syar’i. Mereka yang berjilbab tapi jauh dari kriteria tersebut dikategorikan wanita telanjang.

Beberapa waktu yang lalu kampus kita melarang mahasiswinya memakai celana ketat (celana pensil) tapi sampai sekarang masih banyak dari mahasiswinya yang memakai pakaian tersebut, ini disebabkan terjebaknya perempuan-perempuan islam dalam trend dan mode zaman sekarang. Namun dalam perkembangan berikutnya model telah banyak berkembang terutama kearah perilaku, jadi model dapat berupa acuan atau contoh dalam bentuk fisik dapat pula dalam bentuk mental dan perilaku. Keadaan ini pernah diramalkan Rasulullah SAW akan terjadi di akhir zaman nanti. Bahkan Rasul meramalkan bukan hanya semaraknya mode pakaian, tetapi juga berbagai trend lainnya yang hanya sekedar menjual merek baik makanan maupun minuman. Rasulullah SAW bersabda “Akan ada dikalangan umatku yang melahap bermacam-macam makanan, meneguk bermacam-macam minuman, memakai pakaian dengan rupa mode dan warna, serta banyak bicaranya” (HR.Thabrani dan Imam Abi Dunya).

Kita sebagai mahasiswi yang berlandasan Ahlussunnah Waljama’ah, harus bisa menjadi contoh bagi muslimah-muslimah yang lainnya. Dengan sedikit demi sedikit mengubah penampilan dan perilaku kita yang sesuai dengan syar’i.
                        By: Susi Wahyuni

0 Comments